Archive | November 2012

Suara Gereja Katolik di Indoneisa dalam bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan 3

KWI Tolak RUU Kamnas Karena Tidak Efektif

[JAKARTA]  Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional (Kamnas), karena menilai UU yang berlaku saat ini sudah cukup mencakup hal kamnas, kata Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo di Jakarta, Jumat (16/11).

“Sebetulnya, undang-undang yang ada itu sudah cukup kalau dijalankan. Saya mendapat cerita dari salah satu hakim agung di MK (Mahkamah Konstitusi), kalau yang ada itu dijalankan dengan betul, maka tidak perlu membuat baru,” kata Mgr. Suharyo di kantor KWI.

Menurut Suharyo, terlalu banyaknya undang-undang dan peraturan di Indonesia akan menjadikan penerapannya tidak tepat guna.

“Terlalu banyak aturan yang tidak efisien, apalagi ini menyangkut soal keamanan nasional dan jugaa kehidupan manusia seluruhnya,” jelasnya.

Selain itu, apabila RUU Kamnas tersebut diterapkan, maka dia khawatir akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Mungkin berubah Sebelumnya, Pemerintah melalui Menteri Pertahanan serta Menteri Hukum dan HAM telah menjelaskan substansi RUU Keamanan Nasional (Kamnas) kepada DPR.

Menhan Purnomo Yusgiantoro pernah mengatakan bahwa RUU Kamnas tersebut masih ada kemungkinan untuk berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan aspirasi masyarakat.

Selain itu, Purnomo juga mengatakan bahwa materi RUU Kamnas tidak akan mengembalikan kondisi negara seperti pada era orde baru yang dikhawatirkan masyarakat.

Sejumlah pasal baru yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak dalam RUU Kamnas antara lain pasal 54, pasal 22, pasal 10, pasal 17 dan pasal 51.

Sejumlah poin yang menimbulkan reaksi dari sejumlah pihak adalah terkait memberikan peran luas kepada Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai penyelenggara Kamnas, kewenangan khusus TNI dan BIN dalam menangkap dan menyadap pembicaraan siapa saja yang berpotensi mengganggu keamanan nasional, serta menganggap darurat sipil dan darurat militer tidak lagi relevan dalam acuan keadaan bahaya. [Ant/L-8]

http://www.suarapembaruan.com/home/kwi-tolak-ruu-kamnas-karena-tidak-efektif/26974

Suara Gereja Katolik di Indoneisa dalam bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan 2

KWI: Stop Kekerasan di Papua

[JAKARTA] Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mendesak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menghentikan segala bentuk kekerasan di Tanah Papua dan segera menggelar dialog. Semua elemen masyarakat Papua harus dilibatkan dalam dialog tersebut, termasuk mereka yang dianggap Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Demikian pernyataan KWI yang disampaikan Wakil Ketua II KWI Mgr Leo Laba Ladjar OFM menjelang penutupan sidang tahunan para uskup di kantor KWI, Jakarta, Kamis (17/11). Hadir dalam acara ini Ketua KWI Mgr Martinus D Situmorang OFM, Sekretaris Jenderal KWI Mgr Johannes Pujasumarta Pr, dan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI Antonius Benny Susetyo Pr.

Menurut Leo Ladjar yang juga Uskup Jayapura, dialog sejati harus segera diwujudkan dan pemerintah pusat harus memfasilitasi terselenggaranya acara itu untuk mempertemukan semua komponen masyarakat Papua. KWI memandang perlu agar semua kelompok dilibatkan, termasuk OPM, supaya aspirasi mereka bisa didengar dan diketahui pemerintah.

“Jangan sampai karena mereka (OPM) sejak awal dianggap separatis lalu disisihkan dari awal dan dicap sebagai musuh negara, padahal mereka adalah manusia yang menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Papua,” ujarnya.

Meskipun sudah berulang kali disuarakan dan belum juga diwujudkan, KWI, kata Leo, terus menyerukan agar kekerasan demi kekerasan dihentikan di Papua. Tanah Papua haruslah menjadi tanah damai, karena itu dialog yang juga menjadi harapan semua rakyat Papua segera diwujudkan secara tulus.

Dia menegaskan, Papua harus dibangun dengan hati, sehingga masyarakat di ufuk timur itu sejahtera mengerjakan ketertinggalannya dari saudara-saudaranya sebangsa di wilayah Tanah Air lainnya. Kesejahteraan masyarakat yang diharapkan, hanya bisa terwujud kalau ada suasana damai yang memungkinkan semua komponen masyarakat bekerja sama dengan tenang.

Masalah-masalah sosial yang begitu banyak di Papua, cetusnya, tidak mungkin bisa diatasi dengan jalan kekerasan. Kerena itu, KWI menyatakan keprihatinan mendalam dan mengecam tindakan kekerasan tersebut yang jelas-jelas tidak mengindahkan martabat manusia dan merampas hak hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia.

Menurutnya, kekerasan di Papua dan pelanggaran hak-hak orang Papua adalah kisah dengan sejarah yang amat panjang. Jeritan hati orang-orang Papua atas perlakuan itu, tidak bisa hanya dianggap angin lalu atau dibungkam dengan imbauan dan kebijakan sesaat. Diperlukan keberanian pemerintah pusat untuk mengubah sikap, paradigma berpikir, dan mengambil pendekatan baru, serta penyelesaian yang berfokus pada kepentingan kesejahteraan rakyat Papua.
 
Tidak Melindungi
Di bagian lain, KWI mendesak pemerintah pusat, khususnya Panglima TNI, untuk menertibkan keberadaan TNI nonorganik yang diperbantukan mengamankan di Papua, termasuk perbatasan. Disebutkan, personel TNI nonorganik yang ditempatkan di Papua secara jumlah sangat banyak dan secara relatif dalam usia muda, sehingga secara psikologis sangat rentan dan menimbulkan gejolak.

Kondisi itu bukan membuat masyarakat aman atau terlindungi, melainkan menimbulkan permusuhan. Mereka juga tidak mempunyai kegiatan yang secara positif mengisi waktunya. Banyak yang hanya bermain kartu, sehingga ada gesekan kecil saja rentan terjadi konflik, apalagi diawali dengan kecurigaan yang berlebihan.

“KWI minta agar TNI nonorganik ditertibkan agar semangatnya untuk memberi rasa aman terwujud. Sebab, kenyataannya aparat keamanan memang ada, bahkan berlimpah, tetapi justru tidak ada rasa aman bagi masyarakat,” ujarnya.

TNI nonorganik itu, kata Leo, hendaknya ditertibkan dengan menempatkan mereka ke struktural, seperti Kodam, Kodim, hingga Koramil, sehingga mereka hidup bermasyarakat. Kalau mereka hidup dalam pembinaan struktural, mereka bisa berbaur dengan masyarakat, sehingga tidak melulu melihat masyarakat Papua dengan rasa curiga atau bahkan musuh.

Ketua KWI Mgr Martinus D Situmorang juga berharap semua pihak benar-benar mengubah paradigma salah yang selama ini masih melekat pada banyak pihak, termasuk elite bangsa ini.

“Saya merasakan, ada yang tidak beres dengan cara melihat dan memperlakukan, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil untuk Papua. Sepertinya, ada yang belum menerima secara tulus saudara-saudara kita di Papua menjadi benar-benar bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dan paradigma itu harus dikikis habis,” ujarnya.

Tidak ada pilihan lain, kata Situmorang, kecuali membangun Papua dengan hati. Menurutnya, membangun Papua tidak cukup dengan menggelontorkan dana triliunan rupiah, tanpa menyentuh kemanusiaan mereka dengan hati.

KWI juga mendukung ditegakkannya UU Otonomi Khusus di Papua, sebab filosofi dari UU itu adalah melindungi rakyat Papua, memberdayakan mereka sehingga bisa mengejar ketertinggalannya. Kalau selama ini banyak penyimpangan pelaksanaan UU Otonomi Khusus, maka harus diperbaiki dan ditegakkan sesuai semangat awal regulasi tersebut. [M-15]

http://www.suarapembaruan.com/home/kwi-stop-kekerasan-di-papua/13785

Suara Gereja Katolik di Indoneisa dalam bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan 1

Pesan Pastoral 2012, KWI Tegaskan Kembali Komitmen untuk Lingkungan

[JAKARTA] Sidang para uskup yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menegaskan kembali komitmen Gereja Katolik untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam penyelamatan lingkungan hidup. KWI menyatakan keprihatinannya atas kerusakan lingkungan hidup yang makin parah dalam dekade terakhir. Keprihatinan dan komitmen Gereja Katolik tersebut tertuang dalam pesan pastoral KWI setelah para uskup bersidang dari tanggal 5-15 November 2012.

Pesan pastoral bertajuk lingkungan tersebut ditandatangani Ketua Presidium KWI yang baru Mgr Ignatius Suharyo dan Mgr Johannes Pujasumarta (Sekretaris Jenderal).   Dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (16/11) Mgr Ignatius Suharyo yang juga Uskup Agung Jakarta mengatakan, pesan pastoral KWI 2012 yang kali ini menyoroti masalah lingkungan, merupakan penegasan kembali peran Gereja Katolik dalam upaya melestarikan lingkungan.  

Pengganti Ketua KWI sebelumnya Mgr MD Situmorang OFM Cap ini mengatakan, gereja telah lama menaruh keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No. 12) mengingatkan semua pihak bahwa masyarakat setempat  harus dilindungi dari kerakusan pendatang.  

Hal ini diperjelas oleh Paus Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No. 34) yang menekankan bahwa alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral, karena dampak pengelolaan yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan oleh manusia saat ini, tetapi juga generasi mendatang.

Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No. 48) juga menyadarkan bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang sehingga harus dikelola secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia.   

Gereja Katolik Indonesia pun telah menaruh perhatian besar pada masalah lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam Pesan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 berjudul Bangkit dan Bergeraklah yang mengajak kita untuk segera mengatasi berbagai ketidakadaban publik yang paling mendesak, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan. Gereja juga telah melakukan banyak usaha seperti edukasi, advokasi dan negosiasi dalam mengatasi pengrusakan lingkungan yang masih berlangsung terus bahkan kian meningkat kualitas dan kuantitasnya.  

Meningkatkan Kepedulian “Kami mengajak seluruh umat untuk  meneruskan langkah dan meningkatkan kepedulian dalam pelestarian keutuhan ciptaan dalam semangat pertobatan ekologis dan gerak ekopastoral. Kita menyadari bahwa perjuangan ekopastoral untuk melestarikan keutuhan ciptaan tak mungkin dilakukan sendiri. Karenanya, komitmen ini hendaknya diwujudkan dalam bentuk kemitraan dan gerakan bersama, baik dalam Gereja sendiri maupun dengan semua pihak yang terlibat dalam pelestarian keutuhan ciptaan,” ujar Mgr Suharyo. 

Dalam pesan pastoralnya, KWI juga berpesan kepada siapa saja yang berada pada posisi pengambil kebijakan publik, kebijakan terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hendaknya membawa peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Undang-undang yang mengabaikan kepentingan masyarakat perlu ditinjau ulang dan pengawasan terhadap pelaksanaannya haruslah lebih diperketat.  

Sedangkan kepada kalangan pebisnis, KWI berpesan agar hendaknya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomis, tetapi juga keuntungan sosial, yaitu tetap terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat dan adanya jaminan bahwa sumber daya alam  akan tetap cukup tersedia untuk generasi yang akan datang. Di samping itu, usaha-usaha produksi di kalangan masyarakat kecil dan terpinggirkan, terutama masyarakat adat, petani dan nelayan, serta mereka yang rentan terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan, perlu lebih didukung.   

Secara khusus kepada umat Kristiani, KWI mengajak agar mengembangkan habitus (kebiasaan) baru, khususnya hidup selaras dengan alam berdasarkan  kesadaran dan perilaku yang peduli lingkungan sebagai bagian perwujudan iman dan pewartaan dalam bentuk tindakan pemulihan keutuhan ciptaan. Untuk itu, perlu dicari usaha bersama, misalnya pengolahan sampah, penghematan listrik dan air, penanaman pohon, gerakan percontohan di bidang ekologi, advokasi persuasif di bidang hukum terkait dengan hak hidup dan keberlanjutan alam serta lingkungan.  

“Secara khusus lembaga-lembaga pendidikan diharapkan dapat mengambil peranan yang besar  dalam gerakan penyadaran akan masalah lingkungan dan pentingnya kearifan lokal,” kata Suharyo.  

Tahun Iman yang dibuka oleh Paus Benediktus XVI pada tanggal 11 Oktober 2012 lalu antara lain mengingatkan kita untuk mewujudkan iman kita pada Tuhan secara nyata dalam tindakan kasih (bdk. Mat 25: 31-40). Dengan demikian tanggung jawab dan panggilan untuk memulihkan keutuhan ciptaan sebagai wujud iman makin dikuatkan dan komitmen ekopastoral untuk peduli pada lingkungan kian diteguhkan.  

 “Kita semua berharap agar sikap dan gerakan ekopastoral kita menjadi kesaksian kasih nyata dan “pintu kepada iman” yang “mengantar kita pada hidup dalam persekutuan dengan Allah” (Porta Fidei, No.1). Kita yakin bahwa karya mulia di bidang ekopastoral ini diberkati Tuhan dan mendapat dukungan semua pihak yang berkehendak baik,” harap Suharyo yang didampingi Sekretaris Eksekutif Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) KWI Romo Benny Susetyo Pr. [R-15/M-15] 

http://www.suarapembaruan.com/nasional/pesan-pastoral-2012-kwi-tegaskan-kembali-komitmen-untuk-lingkungan/26952

//

Bupati Inovator dan Keprihatinan Terhadap Orang Asli Papua

PENGHARGAAN UNTUK SIAPA?

http://www.radarmerauke.com/2012/11/merauke-profil-bupati-inovator-drs.html?showComment=1353090888646#c872749753328234362

Selamat atas penghargaan untuk Program Innovative Government Awards-IGA 2012 yang diterima Bupati Merauke, Drs. Romanus Mbaraka, MT. Tentunya bukan penghargaan untuk orang asli Papua. Mengapa demikian? Karena orang Asli Papua (dalam hal ini Malind Anim Ha) akan tergusur oleh Mega Proyek MIFEE yang jauh lebih dahsyat daripada program Gerbangku, atau hp dan internet masuk kampung, atau peningkatan harga jual beras, atau penambahan armada pesawat terbang ke Merauke.
Kehadiran Mega Proyek MIFEE mengancam hak hidup masyarakat adat/orang asli Papua yang mengantungkan sumber hidupnya pada lumbung/gudang pangan dari tanah, hutan, sungai/kali, rawa, dan laut. Sagu, binatang hutan, ikan, semuanya ada di sana. Bahkan, hal yang lebih esensial dari sekadar sumber pangan lokal: situs-situs budaya yang menunjukkan karakteristik orang asli Papua.
Mega Proyek MIFEE yang digembar-gemborkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, ternyata sudah, sedang, dan akan mengorbankan ketahanan pangan lokal orang asli Papua sendiri. Suatu ironi: membangun ketahanan pangan dengan merusak sumber pangan. Hutan, rawa dan kali akan dilibas atas nama ketahanan pangan.
Kembali lagi ke pertanyaan awal: PENGHARGAAN UNTUK SIAPA? Program Innovative Government Awards-IGA 2012 berdasarkan keprihatinan untuk orang asli Papua?
Apakah program Gerbangku, atau hp dan internet masuk kampung, atau peningkatan harga jual beras, atau penambahan armada pesawat terbang ke Merauke dapat menjawab keprihatinan terhadap orang asli Papua yang makin tergusur oleh MIFEE? Ataukah penghargaan ini untuk membunuh karakter budaya orang asli Papua?
Mari kita renungkan ini dan semoga Bapak Bupati Merauke, Drs. Romanus Mbaraka, MT mewujudkan penghargaan ini dengan membuktikan bahwa orang asli Papua akan bertahan dalam karakter budayanya.
Salam,
P. Anselmus Amo MSC (JPIC MSC Indonesia)

//

Kapital Sosial dan Kesejahteraan Sosial

REFLEKSI Kuliah Kapital Sosial dan Kesejahteraan Sosial

Pekerjaan: Pastor Promotor Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Missionarii Sacratissimi Cordis (MSC) dan Ketua Forum Keadilan dan Perdamaian Papua – Kalimantan (dalam kerjasama dengan Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau Konferensi Waligereja Indonesia; dan Komisi Keadilan dan Perdamaian di Keuskupan-Keuskupan Papua dan Kalimantan)

Manfaat ‘Teori Kesejahteraan Sosial’ untuk pekerjaan:

Teori Kesejahteraan Sosial membangun kesadaran saya akan tendensi pembangunan di Indonesia. Saya menyadari bahwa pembangunan saat ini masih didominasi oleh arus Kapitalisme yang menekankan keberhasilan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi. Strategi pembangunan dengan tekanan pada pertumbuhan ekonomi ini diyakini akan mengatasi masalah kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan kekerasan. Tetapi faktanya, kemiskinan masih merajalela, kerusakan lingkungan semakin parah, dan kekerasan semakin meningkat. Fakta inilah yang menjadi perjuangan kami di tempat kerja. Kami bekerja sama di kalangan intern Gereja Katolik dan juga dengan lembaga agama lain, Lembaga Pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat, serta kelompok sasaran (yang menjadi subyek perjuangan kami) untuk menyatukan kekuatan bersama menghadapi tekanan dari masalah kemiskinan, kerusakan lingkungan dan kekerasan ini.

Teori Kesejahteraan Sosial membantu saya dalam menyusun strategi intervensi sosial (atas masalah kemiskinan, kerusakan lingkungan dan kekerasan) melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Memang di tempat kerja kami sudah terbiasa memakai pola ini. Tapi dalam mempelajari Teori Kesejahteraan Sosial ini saya terbantu untuk melakukan intervensi sosial secara ilmiah.

Penerapan Kapital Sosial untuk mengatasi masalah sosial yang ada di tempat kerja:

Penerapan unsur ‘kepercayaan’. Kepercayaan timbul karena adanya suatu nilai perjuangan yang sama, yakni keadilan, perdamaian, dan keutuhan lingkungan hidup. Semangat yang mendasari perjuangan ini adalah cinta kasih dan persaudaraan. Unsur kepercayaan ini membantu kami dalam meningkatkan kepercayaan diri (self-confidence) dan kerjasama di antara kami. Kami saling percaya dengan kemampuan setiap pribadi dan lembaga dalam kerjasama ini.

Penerapan unsur ‘jaringan’. Jaringan kami bangun antar lembaga dan dalam lembaga, serta antar pribadi. Jaringan membantu kami untuk saling tahu, saling membagi informasi, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam perjuangan kami. Dalam mengembangkan jaringan ini kami saling menghargai dan saling percaya satu sama lain.

Penerapan unsur ‘norma’.  Dalam kerjasama kami, terbangunlah apa yang menjadi hak dan kewajiban kami. Perjuangan kami menuntut komitmen dari setiap pribadi maupun lembaga. Prinsip keadilan menjadi pegangan kami dalam perjuangan untuk mengatasi masalah kemiskinan, kerusakan lingkungan dan kekerasan.

Gereja dan Pengembangan Sosial-Ekonomi Masyarakat

PERAN GEREJA KATOLIK PAROKI ST. YOSEP ABOGE – KEUSKUPAN AGUNG MERAUKE

BAGI PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT MELALUI USAHA PENGOLAHAN KARET RAKYAT

PENDAHULUAN

Makalah ini merupakan suatu refleksi pengalaman saya sebagai seorang Imam, yang pernah bertugas sebagai Pastor Paroki di Paroki St. Yosep Aboge – Keuskupan Agung Merauke. Tugas di tengah umat dan masyarakat di pedalaman Papua menumbuhkan keprihatinan akan kehidupan umat dan masyarakat di wilayah pelayanan saya, khususnya keprihatinan dalam bidang sosial-ekonomi.

Pertama-tama saya ingin menyebutkan konsep pengembangan sosial ekonomi yang dimengerti oleh Gereja Katolik. Gereja sebagai institusi sosial tidak lepas dari kehidupan harian masyarakat pada umumnya. Paus Yohanes XXIII melalui Ensiklik Mater Et Magistra menyebutkan “Meskipun Gereja pertama-tama harus mengusahakan keselamatan jiwa-jiwa, Gereja juga peduli pada hidup manusia sehari-hari, mengenai kesejahteraan dan kemakmurannya di dunia (pembangunan manusia yang seutuhnya – humanum).”[1]

Pembangunan manusia seutuhnya melibatkan pembangunan di bidang sosial ekonomi juga. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan di bidang sosial ekonomi ini adalah pemanfaatan sumber daya untuk mencapai kesejahteraan. Sumber daya itu terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan sumber daya sosial.

Sudah ada beberapa upaya untuk pengembangan sosial ekonomi masyarakat di Paroki St. Yosep Aboge, yang dimulai dari Kampung Eci sebagai pusat paroki. Pertama, Budidaya Gaharu yang dilakukan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke (KAME). Kedua, Pelatihan Pengolahan Karet yang dilakukan oleh SKP KAME.[2] Ketiga, Pemasaran Hasil Karet masyarakat yang diupayakan oleh Pastor Paroki (saya sendiri). Tetapi langkah-langkah ini belum membawa dampak yang berarti bagi masyarakat di Kampung Eci. Setelah saya pindah ke Jakarta pada Oktober 2009 yang lalu, tidak ada lanjutan bagi pengembangan sosial ekonomi melalui pengolahan karet oleh Gereja Paroki.

Pertanyaan yang muncul adalah apa yang perlu dilakukan agar kegagalan-kegagalan terdahulu tidak terulang lagi? Peran apa yang harus dimainkan oleh Gereja Katolik Paroki St. Yosep Aboge untuk mengembangkan kehidupan sosial ekonomi rakyat melalui usaha pengolahan karet rakyat? Mungkin perlu penelitian lanjut. Di sini saya hanya memberikan sedikit masukan berdasarkan kerangka pemikiran di bawah ini.

Kerangka berpikir makalah ini menggunakan integrasi dari kerangka pendekatan livehood[3] dan kerangka dualitas struktur (Anthony Giddens)[4]. Masukan yang diharapkan dari kerangka pendekatan livehood adalah pemanfaatan seluruh aset sumber daya untuk mendukung aktivitas produksi, konsumsi dan pemasaran. Sementara masukan yang diharapkan dari kerangka dualitas struktur adalah terjadinya proses strukturasi dalam rangkaian produksi dan reproduksi kehidupan sosial.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka pembahasan ini dapat dibagi dalam tiga pokok, yaitu (1) Masalah Konseptual, (2) Masalah Operasional, dan (3) Rancangan Masukan Integrasi Pendekatan Livehood dan Dualitas Struktur.

I. MASALAH KONSEPTUAL

  1. a.      Konsep Livehood[5]

Konsep Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat melalui pengolahan karet berdasarkan kerangka Livehood memberikan gambaran bagi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat perdesaan di Indonesia (untuk konteks tulisan ini, Papua masih masuk dalam wilayah NKRI, meskipun ada gerakan untuk menuntut kemerdekaan Papua).

Aset dalam masyarakat –> SDA, SDM, SDS, SDF –> Kapitalisasi Sumber Daya –> KF, KM, KS –> Kegiatan Produksi, Konsumsi, Pemasaran

Setiap komunitas (desa) memiliki aset dan aktivitas untuk pengembangan kehidiupan sosial ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan keluarga melalui pengolahan karet. Menurut Prof. Robert M.Z. Lawang, kedua aspek ini (aset dan aktivitas) memiliki hubungan timbal balik.

Pertama, Aset dari empat sumber daya, yakni sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya sosial, dan sumber daya finansial. Keempat aset ini tidak akan menghasilkan kesejahteraan, kalau tidak diolah oleh masyarakat (komunitas) baik secara individu maupun secara kelompok. Penekanan dalam aspek ini adalah manusia atau kelompok manusia. Dalam kategori aset internal, manusia masuk dalam kategori sumber daya manusia, sedangkan kelompok manusia masuk dalam kategori sumber daya sosial.

Dalam kaitan dengan kedua aspek ini, dapat dilihat hipotesis upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengolahan karet. (1) Semakin tinggi tingkat sumber daya manusia, semakin muncul inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan. (2) Semakin integratif struktur sosial suatu kelompok, semakin mampu sumber daya manusia itu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan internal kelompok. (3) Kekuatan sumber daya manusia dan sumber daya sosial yang bersinerjik akan menghasilkan kesejahteraan yang lebih baik. (4) Baik sumber daya alam maupun sumber daya finansial hanya merupakan media bagi manusia atau kelompok dalam meningkatkan kesejahteraannya.

Kedua, aktivitas internal komunitas terbagi dalam (1) produksi dan sumber pendapatan, (2) konsumsi dan sumber pengeluaran, (3) pemasaran dan perdagangan. Ketiga aktivitas ini berhubungan timbal balik dengan keempat sumber daya (aset) yang disebutkan sebelumnya. Hubungan itu dapat dilihat sebagai berikut:

(a) Sumber daya yang terkandung dalam aset harus dikapitalisasi dulu untuk ditransformasikan ke dalam bentuk kegiatan atau perlu diintervensi. Yang mengkapitalisasi sumber daya itu adalah orang dalam komunitas itu. Sumber daya alam dikapitalisasi menjadi kapital fisik. Sumber daya manusia dikapitalisasi menjadi kapital manusia. Dan sumber daya sosial dikapitalisasi menjadi kapital sosial. Sedangkan sumber daya finansial adalah alat saja (kepercayaan) untuk dapat (tidak harus) memperoleh kapital fisik dan kapital manusia.

(b) Begitu juga dengan kapital fisik, kapital manusia dan kapital sosial menjadi bagian dalam proses kegiatan meningkatkan kesejahteraan, keempat aset internal dapat terpengaruhi dalam pengertian: (i) Positif, yakni sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya sosial dan sumber daya finansial terpelihara dengan baik sehingga tetap berfungsi untuk proses kapitalisasi lebih lanjut, dan akhirnya proses peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan. (ii) Negatif, yakni salah satu atau lebih atau semua sumber daya itu menjadi tidak berdaya lagi sehingga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan. Salah satu “gejolak” yang ada misalnya muncul dari pengaruh negatif berupa bencana alam lokal, ketidakamanan, ketidakpercayaan, kejahatan, manipulasi, pencurian, dan sebagainya.[6]

(c) Dari penjelasan di atas, maka sebagian dari “gejolak” dan dampak, masuk ke dalam lingkaran internal komunitas yang terdiri dari aset dan aktivitas. Tetapi sebagiannya tetap berada di luar, karena banyak gejolak sosial politik ekonomi yang muncul dari luar komunitas, dan dampak terhadap kesejahteraan pada tingkat nasional juga dapat disebabkan oleh ketidaksejahteraan pada internal komunitas.

(d) Pengolahan karet untuk meningkatkan kesejahteraan pasti membutuhkan teknologi. Kapital dan investasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Teknologi di sini sudah given (terberi) untuk suatu proses produksi. Dalam teori kapital sosial, teknologi terutama masuk dalam kapital fisik dan dalam pengertian tertentu masuk dalam kapital sosial (jaringan sosial dunia maya).

  1. b.      Konsep Dualitas Struktur[7]

Konsep pengembangan sosial ekonomi masyarakat melalui pengolahan karet juga memberikan gambaran dalam proses strukturasi dan reproduksi sosial.

Anthony Giddens menjelaskan konsep dualitas struktur sebagai struktur sosial yang dibentuk oleh agensi manusia, tetapi pada saat yang sama merupakan medium sesungguhnya dari proses pembentukan ini. Dualitas struktur dalam interaksi sosial ini bisa direpresentasikan sebagai berikut:

STRUKTUR

Komunikasi

Kekuasaan

Moralitas

INTERAKSI

Skema Interpretatif

Fasilitas

Norma

(MODALITAS)

Signifikansi

Dominasi

Legitimasi

Apa saja yang disebut oleh Giddens sebagai ‘modalitas’ mengacu pada mediasi interaksi dan struktur dalam proses-proses reproduksi sosial. Konsep di baris pertama mengacu pada properti interaksi, sementara baris ketiga merupakan karakterisasi struktur. Komunikasi makna dalam interaksi melibatkan penggunaan skema interpretatif yang dengannya pengertian dibuat oleh para partisipan dari apa yang setiap orang katakan dan lakukan.

Penerapan skema kognitif semacam itu, dalam sebuah kerangka pengetahuan bersama, bergantung pada dan ditarik dari sebuah ‘tatanan kognitif’ yang didiami bersama-sama oleh masyarakat; namun ketika menggunakan tatanan kognitif itu, penerapan skema interpretatif pada saat bersamaan menyusun ulang tatanan itu.

Penggunaan kekuasaan dalam interaksi melibatkan aplikasi fasilitas yang digunakan para partisipan agar mampu memberikan hasil dengan memengaruhi perilaku orang lain; fasilitas ditarik dari sebuah tatanan dominasi dan pada saat bersamaan, saat tatanan itu diterapkan, mereproduksi tatanan dominasi itu.

Akhirnya, penyusunan moral atas interaksi melibatkan penerapan norma yang diambil dari suatu tatanan yang sah, tetapi dengan aplikasi itu juga menyusun ulang tatanan yang bersangkutan.

Seperti halnya komunikasi, kekuasaan dan moralitas juga merupakan elemen integral dari interaksi, sehingga signifikansi (pengertian), dominasi, dan legitimasi hanya secara analitis merupakan property terpisah dari struktur.

Struktur pengertian dapat dianalisis sebagai sistem kaidah semantik  (atau konvensi); struktur dominasi sebagai sistem sumber-sumber; struktur legitimasi sebagai sistem kaidah moral. Dalam situasi interaksi yang konkret, anggota masyarakat mengambilnya sebagai modalitas produks dan reproduksi, meskipun lebih sebagai seperangkat yang terintegrasi daripada tiga komponen terpisah.

  1. c.       Integrasi Konsep Livehood dan Konsep Dualitas Struktur

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengolahan karet, kita dapat mengintegrasikan konsep Livehood dan konsep Dualitas Struktur. Untuk jelasnya, dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, aset dalam masyarakat yang sudah dikapitalisasi oleh manusia atau kelompok manusia (konsep Livehood) dapat diintegrasikan dalam struktur interaksi (modalitas). Kapital manusia dan kapital sosial yang didukung oleh kapital fisik dalam interaksinya membentuk struktur interaksi (modalitas).

Kedua, reproduksi sosial melalui struktur pengertian/signifikansi, struktur dominasi, dan struktur legitimasi (konsep dualitas struktur) dapat menjadi pendorong bagi kegiatan produksi, kegiatan konsumsi, dan kegiatan pemasaran suatu kelompok demi peningkatan kesejahteraan.

  1. d.      Menuju Kerangka Operasionalisasi

Mengacu pada pokok-pokok pikiran dalam konsep Livehood dan konsep Dualitas Struktur di atas, maka dapat ditemukan pokok-pokok dalam operasionalisasi berikut ini:

(i) Setiap masyarakat memiliki sumber daya yang berbeda dalam kualitas dan kuantitasnya.

(ii) Peran Gereja (Paroki) dalam mengembangkan sosial ekonomi masyarakat melalui pengolahan karet perlu disesuaikan dengan kondisi sumber-sumber daya itu.

(iii) Proses kapitalisasi sumber daya terjadi dalam kegiatan produksi, konsumsi dan pemasaran.

(iv) Proses kapitalisasi dapat dilakukan melalui intervensi dari luar (peran Gereja), dapat pula melalui kegiatan internal masyarakat itu sendiri sebagai tujuan utama dari semua kegiatan intervensi (mandiri).

(v) Kesejahteraan masyarakat, gejolak, dinamika masyarakat merupakan tiga hal yang saling terkait yang dalam kerangka konseptual harus mampu meningkatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat itu sendiri untuk menjamin sustainability.

(vi) Jaminan akan sustainability ini semakin diperkuat oleh reproduksi sosial yang terus-menerus melalui struktur signifikansi, dominasi dan legitimasi.

II. MASALAH OPERASIONAL

Pergumulan terberat adalah pada masalah operasional. Sudah ada beberapa upaya dari Gereja Keuskupan Agung Merauke melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaian dan dari paroki sendiri mengalami kebuntuan.

Ada beberapa kendala yang muncul di lapangan. Pertama, pendampingan yang sustainable dari Gereja. Apa yang dilakukan oleh SKP KAME hanya pada momen tertentu saja atau mengikuti issue sesaat. Issue pertama adalah masalah sosial yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan akibat pencarian gubal gaharu yang berdampak juga pada masalah penyebaran HIV/AIDS melalui para pelacur dari luar Papua. Untuk menanggapi issue ini, maka dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui Budidaya Gaharu. Setelah dilakukan pelatihan Budidaya Gaharu, masyarakat yang terlibat dibiarkan begitu saja tanpa ada pendampingan lanjut. Issue kedua adalah alternatif Gaharu dengan melihat potensi masyarakat yang memiliki kebun karet. Maka dilakukanlah pelatihan pengolahan karet. Setelah pelatihan, masyarakat bekerja sendiri tanpa mengetahui apa yang dibuat setelah karet berhasil diolah. Ketika saya masuk ke paroki ini dan melihat hasil olahan masyarakat, saya mencoba membuka akses ke Surabaya untuk menerima hasil olahan karet masyarakat. Pemasaran saya lakukan. Masyarakat mulai antusias. Tetapi pada saat bersamaan, harga karet jatuh. Mental masyarkat pun jatuh. Dan saya tidak berdaya. Hingga saya pindah dari paroki St. Yosep Aboge, hal ini seperti terlantar begitu saja dan tidak dilanjutkan oleh pengganti saya.

Kedua, mental masyarakat. Masyarakat masih dominan mendapatkan makanan dari hutan. Ada juga yang sudah berkebun. Tapi sangat susah saya temukan masyarakat yang mengolah makanan yang bergizi. Masyarakat juga terpola pada mental peramu. Apa yang ada sehari, cukup untuk sehari. Besok masih dapat lagi di hutan. Tapi bagaimana supaya hasil hutan, hasil kebun, dan hasil karet ini bisa meningkatkan kesejahteraannya? Inilah yang menjadi kendala. Akses informasi dan transportasi sudah ada. Tapi tidak digunakan secara baik oleh masyarakat.

Di balik persoalan yang rumit di atas, sebenarnya masih ada harapan untuk mengembangkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kampung Eci. Masih ada masyarakat yang memiliki kemauan baik untuk maju. Meskipun sedikit, hal ini tetap menjanjikan. Maka perlu peran Gereja yang lebih serius dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengolahan karet. Gereja harus menjadi agen yang kreatif dalam membawa perubahan bagi masyarakat.

Pelajaran yang dipetik dari sini adalah merealisasikan ide melalui rencana yang matang. Perencanaan itu dituangkan dalam bentuk program. Program diimplementasikan menjadi media untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosial sekitar. Keberhasilan akan ditiru, tapi kegagalan akan menjadi pelajaran yang berharga untuk maju.

III. RANCANGAN MASUKAN INTEGRASI PENDEKATAN LIVEHOOD DAN DUALITAS STRUKTUR

1. Model yang disusun untuk diterapkan:

Ide (utopi realistic): Keterpaduan sumber daya dalam pembangunan (livehood) –> Peran Gereja + Proyek/Program bersama –> Perencanaan bersama –> Pelaksanaan oleh orang desa

2. Integrasi ke dalam bagan pendekatan Livehood dan pendekatan Dualitas Struktur

 Aset dalam masyarakat –> SDA, SDM, SDS, SDF –> Kapitalisasi Sumber Daya –> KF, KM, KS –> Struktur Interaksi (Modalitas) –> Komunikasi, Kekuasaan, Moralitas –> Skema Interpretatif, Fasilitas, Norma –> Signifikansi, Dominasi, Legitimasi –> Kegiatan Produksi, Konsumsi, Pemasaran.

PENUTUP

Integrasi kerangka Livehood dan Dualitas Struktur di atas memang agak rumit untuk diterangkan secara rasional. Tetap menjadi kerinduan saya untuk terus memperdalam kerangka ini dalam upaya pengembangan sosial ekonomi masyarakat, terutama di Kampung Eci dan Papua pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Giddens, Anthony. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. 2010. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

———–. Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru. 2010. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

———–. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. 2009. Kreasi Wacana: Bantul.

———–. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan Politik Radikal. 2009. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Lawang, Robert, M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik: Suatu Pengantar. FISIP UI PRESS: Depok.

———–. Peran Komunitas Migran Bagi Pengembangan Akses Pangan Masyarakat Daerah Asal. Makalah. 24 Mei 2011.

———–. Pemantapan Konsep Operasional Akses Pangan. Makalah. 27-28 Mei 2011.

———–. Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia: Antara Mazhab Modernisme dan Strukturalisme. Makalah.

———-. Rural Development in Indonesia: Presented at KAPA Conference in Jakarta. Makalah. 27-28 Juni 2011

Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke. 2007. Laporan Tahunan.


[1] Paus Yohanes XXII, Ensiklik Mater et Magistra, no. 3

[2] SKP KAME, Laporan Tahun 2007.

[3] Robert M.Z. Lawang, Peran Komunitas Migran bagi Pengembangan Akses Pangan Masyarakat Daerah Asal, Makalah pada Diskusi di Kementrian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan – Jakarta, 24 Mei 2011.

[4] Anthony Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010), hal. 125-181.

[5] Robert M.Z. Lawang, Peran Komunitas Migran bagi Pengembangan Akses Pangan Masyarakat Daerah Asal, Makalah pada Diskusi di Kementrian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan – Jakarta, 24 Mei 2011.

[6] Bdk. Robert M.Z. Lawang, Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologi: Suatu Pengantar, (FISIP UI Press: Depok, 2005), hal. 8-14.

[7] Anthony Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru, hal. 125-181.

Rancangan Program Pengembangan Masyarakat

RANCANGAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Video Sosiologi Pedesaan yang ditampilkan oleh Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang dalam kuliah Kapital Sosial dan Kesejahtaraan Sosial, setelah diidentifikasi menurut Kapital-kapital, maka dapat dipilih program pengembangan masyarakat sesuai dengan kapital-kapital yang ada.

Salah satu program yang ditawarkan adalah Pertanian Organik Berlandaskan Ekologi.

Rancangan di bawah ini dibuat menurut Robert R. Mayer, Policy and Program Planning: A Developmental Perspective (Englewood Cliffs. N Prentice-Hall, 1985), 105. Reprinted by permission of Prentice-Hall, Inc.

  1. Determination of goals: Penentuan Tujuan

Tujuan Umum: Tercapainya kesejahteraan masyarakat desa melalui pertanian organic

Tujuan Khusus:

a. Masyarakat desa menyadari dan memahami pertanian organic yang berlandaskan ekologi.

b. Meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam bidang pertanian organic yang berlandaskan ekologi.

c. Meningkatkan hasil pertanian organic dalam integrasinya dengan lingkungan sekitar.

 

2. Assessment of needs: Pencarian Kebutuhan Masyarakat Desa

a. Data tentang kesadaran dan pemahaman masyarakat desa di bidang pertanian organic dan ekologi

b. Data tentang kemampuan masyarakat desa dalam bidang pertanian

c. Data tentang hasil pertanian masyarakat desa dan pemenuhan kebutuhan hidup

 

3. Specification of objectives

a. Proses penyadaran dan pendidikan

b. Kerjasama (partisipasi): pendampingan dan pemberdayaan

c. Tindak lanjut: perbaikan ekonomi dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan

 

4. Design of alternative actions

a. Pendidikan dan penyadaran melalui kelompok: anak, remaja, ibu, bapak

b. Pembagian kerja dalam kelompok basis.

c. Pertanian organic berkelanjutan melalui infrastuktur pendukung: pupuk organic dan bio-pestisida

 

Estimation of consequences of alternative actions

a. Pendidikan dan penyadaran melalui sekolah dan lapangan

b. Pendampingan dan pemberdayaan melalui kelompok basis

c. Penyediaan infrastruktur pendukung pertanian organik

 

Selection of course(s) of action

a. Pendidikan dan penyadaran tentang pertanian organic di sekolah dan lapangan

b. Pendampingan dan pemberdayaan kelompok basis

c. Peningkatan produk pertanian organic yang berlandaskan ekologi

 

7. Implementation

a. Pelaksanaan pendidikan dan penyadaran tentang pertanian organic di sekolah dan lapangan

b. Peningkatan kapasitas kelompok basis

c. Integrasi peningkatan pertanian organic melalui infrastruktur pendukung.

 

8. Evaluation.

a. Apakah masyarakat desa menyadari dan memahami pertanian organic yang berlandaskan ekologi?

b. Apakah masyarakat desa melalui kelompok-kelompok basis memiliki kapasitas dalam melaksanakan program pertanian organic?

c. Apakah ada peningkatan hasil pertanian organic dalam integrasinya dengan lingkungan sekitar?

 

9. Feedback

a. Apa yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang pertanian organic yang berlandaskan ekologi?

b. Apa yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kapasitas masyarakat (kelompok-kelompok basis) untuk melaksanakan pertanian organic yang berlandaskan ekologi?

c. Apa yang perlu diperhatikan dalam peningkatan hasil pertanian organic dalam integrasinya dengan lingkungan sekitar?

 

Perubahan yang hendak dicapai dalam program pertanian organic yang berlandaskan ekologi adalah masyarakat desa berpindah dari pertanian konvensional ke pertanian organic demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ada tiga hal yang perlu : pertanian organic, pengelolaan hutan, dan pengelolaan produk pertanian.

Sarana pendukung keberlanjutan program: jaringan, komunikasi, modal melalui koperasi atau Credit Union.

Bacaan pendukung:

http://www.agepp.net/files/agepp_indonesia2_seloliman_fullversion_ind.pdf

//

Idetifikasi Kapital Sosial

Identifikasi Kapital-kapital dalam Video Sosiologi Pedesaan

Video Sosiologi Pedesaan yang ditampilkan oleh Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang dalam kuliah Kapital Sosial dan Kesejahtaraan Sosial dapat diidentifikasi menurut Kapital-kapital  berikut ini:

Kapital Fisik:

Ada beberapa sumber daya fisik (alam) yang dapat diubah menjadi Kapital Fisik, yakni: air, tanah, batu, pasir, semen, pipa paralon, rumah, alat pembangkit listrik, kabel, lampu dan meteran listrik. Sumber daya fisik ini dapat menjadi Kapital Fisik bila diarahkan untuk menghasilkan listrik bagi keluarga.

Kapital Manusia:

Tampilan video menunjukkan juga ada seorang pria dewasa. Ia memiliki sumber daya, yakni pengetahuan dan keterampilan akan listrik. Sumber daya ini dapat menjadi Kapital Manusia untuk menghasilkan listrik bagi keluarga.

Kapital Budaya:

Sekilas dari tampilan video terlihat suasana pedesaan dengan hamparan sawah dengan sebuah rumah di lokasi persawahan. Ada sumber daya budaya yang secara implisit muncul dalam video tersebut adalah budaya kerja keras. Sumber daya budaya kerja keras ini menjadi Kapial Budaya dalam keseriusan dan kedisiplinan untuk menghasilkan listrik bagi keluarga.

Kapital Sosial:

Tampak dari video ada satu rumah. Secara implisit berdiam satu keluarga. Sumber daya sosial ini menjadi Kapital Sosial dalam menjalankan fungsinya dengan baik untuk terus memanfaatkan listrik ini dalam bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Sosialisasi ini tentunya dibangun atas dasar kepercayaan, jaringan, dan struktur sosial setempat.

Hal yang diperlukan untuk menjaga keterhubungan antar Kapital di atas, yakni perlindungan terhadap alam sehingga sumber air dapat berlangsung terus dan dapat menghasilkan listrik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Sekian!

//

Hello world!

Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.

Happy blogging!