Gereja dan Pengembangan Sosial-Ekonomi Masyarakat

PERAN GEREJA KATOLIK PAROKI ST. YOSEP ABOGE – KEUSKUPAN AGUNG MERAUKE

BAGI PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT MELALUI USAHA PENGOLAHAN KARET RAKYAT

PENDAHULUAN

Makalah ini merupakan suatu refleksi pengalaman saya sebagai seorang Imam, yang pernah bertugas sebagai Pastor Paroki di Paroki St. Yosep Aboge – Keuskupan Agung Merauke. Tugas di tengah umat dan masyarakat di pedalaman Papua menumbuhkan keprihatinan akan kehidupan umat dan masyarakat di wilayah pelayanan saya, khususnya keprihatinan dalam bidang sosial-ekonomi.

Pertama-tama saya ingin menyebutkan konsep pengembangan sosial ekonomi yang dimengerti oleh Gereja Katolik. Gereja sebagai institusi sosial tidak lepas dari kehidupan harian masyarakat pada umumnya. Paus Yohanes XXIII melalui Ensiklik Mater Et Magistra menyebutkan “Meskipun Gereja pertama-tama harus mengusahakan keselamatan jiwa-jiwa, Gereja juga peduli pada hidup manusia sehari-hari, mengenai kesejahteraan dan kemakmurannya di dunia (pembangunan manusia yang seutuhnya – humanum).”[1]

Pembangunan manusia seutuhnya melibatkan pembangunan di bidang sosial ekonomi juga. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan di bidang sosial ekonomi ini adalah pemanfaatan sumber daya untuk mencapai kesejahteraan. Sumber daya itu terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan sumber daya sosial.

Sudah ada beberapa upaya untuk pengembangan sosial ekonomi masyarakat di Paroki St. Yosep Aboge, yang dimulai dari Kampung Eci sebagai pusat paroki. Pertama, Budidaya Gaharu yang dilakukan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke (KAME). Kedua, Pelatihan Pengolahan Karet yang dilakukan oleh SKP KAME.[2] Ketiga, Pemasaran Hasil Karet masyarakat yang diupayakan oleh Pastor Paroki (saya sendiri). Tetapi langkah-langkah ini belum membawa dampak yang berarti bagi masyarakat di Kampung Eci. Setelah saya pindah ke Jakarta pada Oktober 2009 yang lalu, tidak ada lanjutan bagi pengembangan sosial ekonomi melalui pengolahan karet oleh Gereja Paroki.

Pertanyaan yang muncul adalah apa yang perlu dilakukan agar kegagalan-kegagalan terdahulu tidak terulang lagi? Peran apa yang harus dimainkan oleh Gereja Katolik Paroki St. Yosep Aboge untuk mengembangkan kehidupan sosial ekonomi rakyat melalui usaha pengolahan karet rakyat? Mungkin perlu penelitian lanjut. Di sini saya hanya memberikan sedikit masukan berdasarkan kerangka pemikiran di bawah ini.

Kerangka berpikir makalah ini menggunakan integrasi dari kerangka pendekatan livehood[3] dan kerangka dualitas struktur (Anthony Giddens)[4]. Masukan yang diharapkan dari kerangka pendekatan livehood adalah pemanfaatan seluruh aset sumber daya untuk mendukung aktivitas produksi, konsumsi dan pemasaran. Sementara masukan yang diharapkan dari kerangka dualitas struktur adalah terjadinya proses strukturasi dalam rangkaian produksi dan reproduksi kehidupan sosial.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka pembahasan ini dapat dibagi dalam tiga pokok, yaitu (1) Masalah Konseptual, (2) Masalah Operasional, dan (3) Rancangan Masukan Integrasi Pendekatan Livehood dan Dualitas Struktur.

I. MASALAH KONSEPTUAL

  1. a.      Konsep Livehood[5]

Konsep Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat melalui pengolahan karet berdasarkan kerangka Livehood memberikan gambaran bagi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat perdesaan di Indonesia (untuk konteks tulisan ini, Papua masih masuk dalam wilayah NKRI, meskipun ada gerakan untuk menuntut kemerdekaan Papua).

Aset dalam masyarakat –> SDA, SDM, SDS, SDF –> Kapitalisasi Sumber Daya –> KF, KM, KS –> Kegiatan Produksi, Konsumsi, Pemasaran

Setiap komunitas (desa) memiliki aset dan aktivitas untuk pengembangan kehidiupan sosial ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan keluarga melalui pengolahan karet. Menurut Prof. Robert M.Z. Lawang, kedua aspek ini (aset dan aktivitas) memiliki hubungan timbal balik.

Pertama, Aset dari empat sumber daya, yakni sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya sosial, dan sumber daya finansial. Keempat aset ini tidak akan menghasilkan kesejahteraan, kalau tidak diolah oleh masyarakat (komunitas) baik secara individu maupun secara kelompok. Penekanan dalam aspek ini adalah manusia atau kelompok manusia. Dalam kategori aset internal, manusia masuk dalam kategori sumber daya manusia, sedangkan kelompok manusia masuk dalam kategori sumber daya sosial.

Dalam kaitan dengan kedua aspek ini, dapat dilihat hipotesis upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengolahan karet. (1) Semakin tinggi tingkat sumber daya manusia, semakin muncul inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan. (2) Semakin integratif struktur sosial suatu kelompok, semakin mampu sumber daya manusia itu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan internal kelompok. (3) Kekuatan sumber daya manusia dan sumber daya sosial yang bersinerjik akan menghasilkan kesejahteraan yang lebih baik. (4) Baik sumber daya alam maupun sumber daya finansial hanya merupakan media bagi manusia atau kelompok dalam meningkatkan kesejahteraannya.

Kedua, aktivitas internal komunitas terbagi dalam (1) produksi dan sumber pendapatan, (2) konsumsi dan sumber pengeluaran, (3) pemasaran dan perdagangan. Ketiga aktivitas ini berhubungan timbal balik dengan keempat sumber daya (aset) yang disebutkan sebelumnya. Hubungan itu dapat dilihat sebagai berikut:

(a) Sumber daya yang terkandung dalam aset harus dikapitalisasi dulu untuk ditransformasikan ke dalam bentuk kegiatan atau perlu diintervensi. Yang mengkapitalisasi sumber daya itu adalah orang dalam komunitas itu. Sumber daya alam dikapitalisasi menjadi kapital fisik. Sumber daya manusia dikapitalisasi menjadi kapital manusia. Dan sumber daya sosial dikapitalisasi menjadi kapital sosial. Sedangkan sumber daya finansial adalah alat saja (kepercayaan) untuk dapat (tidak harus) memperoleh kapital fisik dan kapital manusia.

(b) Begitu juga dengan kapital fisik, kapital manusia dan kapital sosial menjadi bagian dalam proses kegiatan meningkatkan kesejahteraan, keempat aset internal dapat terpengaruhi dalam pengertian: (i) Positif, yakni sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya sosial dan sumber daya finansial terpelihara dengan baik sehingga tetap berfungsi untuk proses kapitalisasi lebih lanjut, dan akhirnya proses peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan. (ii) Negatif, yakni salah satu atau lebih atau semua sumber daya itu menjadi tidak berdaya lagi sehingga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan. Salah satu “gejolak” yang ada misalnya muncul dari pengaruh negatif berupa bencana alam lokal, ketidakamanan, ketidakpercayaan, kejahatan, manipulasi, pencurian, dan sebagainya.[6]

(c) Dari penjelasan di atas, maka sebagian dari “gejolak” dan dampak, masuk ke dalam lingkaran internal komunitas yang terdiri dari aset dan aktivitas. Tetapi sebagiannya tetap berada di luar, karena banyak gejolak sosial politik ekonomi yang muncul dari luar komunitas, dan dampak terhadap kesejahteraan pada tingkat nasional juga dapat disebabkan oleh ketidaksejahteraan pada internal komunitas.

(d) Pengolahan karet untuk meningkatkan kesejahteraan pasti membutuhkan teknologi. Kapital dan investasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Teknologi di sini sudah given (terberi) untuk suatu proses produksi. Dalam teori kapital sosial, teknologi terutama masuk dalam kapital fisik dan dalam pengertian tertentu masuk dalam kapital sosial (jaringan sosial dunia maya).

  1. b.      Konsep Dualitas Struktur[7]

Konsep pengembangan sosial ekonomi masyarakat melalui pengolahan karet juga memberikan gambaran dalam proses strukturasi dan reproduksi sosial.

Anthony Giddens menjelaskan konsep dualitas struktur sebagai struktur sosial yang dibentuk oleh agensi manusia, tetapi pada saat yang sama merupakan medium sesungguhnya dari proses pembentukan ini. Dualitas struktur dalam interaksi sosial ini bisa direpresentasikan sebagai berikut:

STRUKTUR

Komunikasi

Kekuasaan

Moralitas

INTERAKSI

Skema Interpretatif

Fasilitas

Norma

(MODALITAS)

Signifikansi

Dominasi

Legitimasi

Apa saja yang disebut oleh Giddens sebagai ‘modalitas’ mengacu pada mediasi interaksi dan struktur dalam proses-proses reproduksi sosial. Konsep di baris pertama mengacu pada properti interaksi, sementara baris ketiga merupakan karakterisasi struktur. Komunikasi makna dalam interaksi melibatkan penggunaan skema interpretatif yang dengannya pengertian dibuat oleh para partisipan dari apa yang setiap orang katakan dan lakukan.

Penerapan skema kognitif semacam itu, dalam sebuah kerangka pengetahuan bersama, bergantung pada dan ditarik dari sebuah ‘tatanan kognitif’ yang didiami bersama-sama oleh masyarakat; namun ketika menggunakan tatanan kognitif itu, penerapan skema interpretatif pada saat bersamaan menyusun ulang tatanan itu.

Penggunaan kekuasaan dalam interaksi melibatkan aplikasi fasilitas yang digunakan para partisipan agar mampu memberikan hasil dengan memengaruhi perilaku orang lain; fasilitas ditarik dari sebuah tatanan dominasi dan pada saat bersamaan, saat tatanan itu diterapkan, mereproduksi tatanan dominasi itu.

Akhirnya, penyusunan moral atas interaksi melibatkan penerapan norma yang diambil dari suatu tatanan yang sah, tetapi dengan aplikasi itu juga menyusun ulang tatanan yang bersangkutan.

Seperti halnya komunikasi, kekuasaan dan moralitas juga merupakan elemen integral dari interaksi, sehingga signifikansi (pengertian), dominasi, dan legitimasi hanya secara analitis merupakan property terpisah dari struktur.

Struktur pengertian dapat dianalisis sebagai sistem kaidah semantik  (atau konvensi); struktur dominasi sebagai sistem sumber-sumber; struktur legitimasi sebagai sistem kaidah moral. Dalam situasi interaksi yang konkret, anggota masyarakat mengambilnya sebagai modalitas produks dan reproduksi, meskipun lebih sebagai seperangkat yang terintegrasi daripada tiga komponen terpisah.

  1. c.       Integrasi Konsep Livehood dan Konsep Dualitas Struktur

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengolahan karet, kita dapat mengintegrasikan konsep Livehood dan konsep Dualitas Struktur. Untuk jelasnya, dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, aset dalam masyarakat yang sudah dikapitalisasi oleh manusia atau kelompok manusia (konsep Livehood) dapat diintegrasikan dalam struktur interaksi (modalitas). Kapital manusia dan kapital sosial yang didukung oleh kapital fisik dalam interaksinya membentuk struktur interaksi (modalitas).

Kedua, reproduksi sosial melalui struktur pengertian/signifikansi, struktur dominasi, dan struktur legitimasi (konsep dualitas struktur) dapat menjadi pendorong bagi kegiatan produksi, kegiatan konsumsi, dan kegiatan pemasaran suatu kelompok demi peningkatan kesejahteraan.

  1. d.      Menuju Kerangka Operasionalisasi

Mengacu pada pokok-pokok pikiran dalam konsep Livehood dan konsep Dualitas Struktur di atas, maka dapat ditemukan pokok-pokok dalam operasionalisasi berikut ini:

(i) Setiap masyarakat memiliki sumber daya yang berbeda dalam kualitas dan kuantitasnya.

(ii) Peran Gereja (Paroki) dalam mengembangkan sosial ekonomi masyarakat melalui pengolahan karet perlu disesuaikan dengan kondisi sumber-sumber daya itu.

(iii) Proses kapitalisasi sumber daya terjadi dalam kegiatan produksi, konsumsi dan pemasaran.

(iv) Proses kapitalisasi dapat dilakukan melalui intervensi dari luar (peran Gereja), dapat pula melalui kegiatan internal masyarakat itu sendiri sebagai tujuan utama dari semua kegiatan intervensi (mandiri).

(v) Kesejahteraan masyarakat, gejolak, dinamika masyarakat merupakan tiga hal yang saling terkait yang dalam kerangka konseptual harus mampu meningkatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat itu sendiri untuk menjamin sustainability.

(vi) Jaminan akan sustainability ini semakin diperkuat oleh reproduksi sosial yang terus-menerus melalui struktur signifikansi, dominasi dan legitimasi.

II. MASALAH OPERASIONAL

Pergumulan terberat adalah pada masalah operasional. Sudah ada beberapa upaya dari Gereja Keuskupan Agung Merauke melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaian dan dari paroki sendiri mengalami kebuntuan.

Ada beberapa kendala yang muncul di lapangan. Pertama, pendampingan yang sustainable dari Gereja. Apa yang dilakukan oleh SKP KAME hanya pada momen tertentu saja atau mengikuti issue sesaat. Issue pertama adalah masalah sosial yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan akibat pencarian gubal gaharu yang berdampak juga pada masalah penyebaran HIV/AIDS melalui para pelacur dari luar Papua. Untuk menanggapi issue ini, maka dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui Budidaya Gaharu. Setelah dilakukan pelatihan Budidaya Gaharu, masyarakat yang terlibat dibiarkan begitu saja tanpa ada pendampingan lanjut. Issue kedua adalah alternatif Gaharu dengan melihat potensi masyarakat yang memiliki kebun karet. Maka dilakukanlah pelatihan pengolahan karet. Setelah pelatihan, masyarakat bekerja sendiri tanpa mengetahui apa yang dibuat setelah karet berhasil diolah. Ketika saya masuk ke paroki ini dan melihat hasil olahan masyarakat, saya mencoba membuka akses ke Surabaya untuk menerima hasil olahan karet masyarakat. Pemasaran saya lakukan. Masyarakat mulai antusias. Tetapi pada saat bersamaan, harga karet jatuh. Mental masyarkat pun jatuh. Dan saya tidak berdaya. Hingga saya pindah dari paroki St. Yosep Aboge, hal ini seperti terlantar begitu saja dan tidak dilanjutkan oleh pengganti saya.

Kedua, mental masyarakat. Masyarakat masih dominan mendapatkan makanan dari hutan. Ada juga yang sudah berkebun. Tapi sangat susah saya temukan masyarakat yang mengolah makanan yang bergizi. Masyarakat juga terpola pada mental peramu. Apa yang ada sehari, cukup untuk sehari. Besok masih dapat lagi di hutan. Tapi bagaimana supaya hasil hutan, hasil kebun, dan hasil karet ini bisa meningkatkan kesejahteraannya? Inilah yang menjadi kendala. Akses informasi dan transportasi sudah ada. Tapi tidak digunakan secara baik oleh masyarakat.

Di balik persoalan yang rumit di atas, sebenarnya masih ada harapan untuk mengembangkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kampung Eci. Masih ada masyarakat yang memiliki kemauan baik untuk maju. Meskipun sedikit, hal ini tetap menjanjikan. Maka perlu peran Gereja yang lebih serius dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengolahan karet. Gereja harus menjadi agen yang kreatif dalam membawa perubahan bagi masyarakat.

Pelajaran yang dipetik dari sini adalah merealisasikan ide melalui rencana yang matang. Perencanaan itu dituangkan dalam bentuk program. Program diimplementasikan menjadi media untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosial sekitar. Keberhasilan akan ditiru, tapi kegagalan akan menjadi pelajaran yang berharga untuk maju.

III. RANCANGAN MASUKAN INTEGRASI PENDEKATAN LIVEHOOD DAN DUALITAS STRUKTUR

1. Model yang disusun untuk diterapkan:

Ide (utopi realistic): Keterpaduan sumber daya dalam pembangunan (livehood) –> Peran Gereja + Proyek/Program bersama –> Perencanaan bersama –> Pelaksanaan oleh orang desa

2. Integrasi ke dalam bagan pendekatan Livehood dan pendekatan Dualitas Struktur

 Aset dalam masyarakat –> SDA, SDM, SDS, SDF –> Kapitalisasi Sumber Daya –> KF, KM, KS –> Struktur Interaksi (Modalitas) –> Komunikasi, Kekuasaan, Moralitas –> Skema Interpretatif, Fasilitas, Norma –> Signifikansi, Dominasi, Legitimasi –> Kegiatan Produksi, Konsumsi, Pemasaran.

PENUTUP

Integrasi kerangka Livehood dan Dualitas Struktur di atas memang agak rumit untuk diterangkan secara rasional. Tetap menjadi kerinduan saya untuk terus memperdalam kerangka ini dalam upaya pengembangan sosial ekonomi masyarakat, terutama di Kampung Eci dan Papua pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Giddens, Anthony. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. 2010. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

———–. Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru. 2010. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

———–. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. 2009. Kreasi Wacana: Bantul.

———–. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan Politik Radikal. 2009. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Lawang, Robert, M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik: Suatu Pengantar. FISIP UI PRESS: Depok.

———–. Peran Komunitas Migran Bagi Pengembangan Akses Pangan Masyarakat Daerah Asal. Makalah. 24 Mei 2011.

———–. Pemantapan Konsep Operasional Akses Pangan. Makalah. 27-28 Mei 2011.

———–. Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia: Antara Mazhab Modernisme dan Strukturalisme. Makalah.

———-. Rural Development in Indonesia: Presented at KAPA Conference in Jakarta. Makalah. 27-28 Juni 2011

Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke. 2007. Laporan Tahunan.


[1] Paus Yohanes XXII, Ensiklik Mater et Magistra, no. 3

[2] SKP KAME, Laporan Tahun 2007.

[3] Robert M.Z. Lawang, Peran Komunitas Migran bagi Pengembangan Akses Pangan Masyarakat Daerah Asal, Makalah pada Diskusi di Kementrian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan – Jakarta, 24 Mei 2011.

[4] Anthony Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010), hal. 125-181.

[5] Robert M.Z. Lawang, Peran Komunitas Migran bagi Pengembangan Akses Pangan Masyarakat Daerah Asal, Makalah pada Diskusi di Kementrian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan – Jakarta, 24 Mei 2011.

[6] Bdk. Robert M.Z. Lawang, Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologi: Suatu Pengantar, (FISIP UI Press: Depok, 2005), hal. 8-14.

[7] Anthony Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru, hal. 125-181.

Leave a comment