Archive | November 2012

Assessment Bantuan Sosial di Kampung Zanegi – Distrik Animha – Merauke – Papua

Assessment Bantuan Sosial di Kampung Zanegi – Distrik Animha – Kabupaten Merauke – Papua dilakukan pada tanggal 17-19 Agustus 2012. Lampiran berikut ini berikut ini berisi gambaran singkat Kampung Zanegi dan daftar bantuan sosial yang diterima masyarakat serta potensi yang bisa dikembangkan.
ASSESSEMENT BANTUAN SOSIAL DI KAMPUNG ZANEGI

Community Organizing (CO) dan Community Development (CD)

 PENGORGANISASIAN MASYARAKAT DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

 

Pendahuluan

Istilah Community Organizing (CO) masih dipergunakan pada lembaga pendidikan di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Tulisan ini akan menguraikan 4 poin tentang Community Organizing dan Community Development (CD), yakni (1) Perubahan alur pemikiran CO ke arah intervensi komunitas, (2) Kritik terhadap CO, (3) Salah satu penerapan intervensi komunitas dalam bentuk kegiatan pengembangan masyarakat, dan (4) Penerapan kegiatan pengembangan masyarakat dalam kaitannya dengan pemikiran CO. Keempat pokok ini akan dibahas dalam dua sub-judul di bawah ini.

 

Pengorganisasian Masyarakat

  1. 1.      Definisi Pengorganisasian Masyarakat

Pengertian Pengorganisasian Masyarakat dapat ditemukan dalam tulisan Dave Beckwith & Cristina Lopez (1997), yang dikutip oleh Wicaksono & Darusman (2001), CO dapat didefinisikan sebagai :

“Proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin melalui proses menemukenali ancaman yang ada secara bersama-sama, menemukenali penyelesaian-penyelesaian yang diinginkan terhadap ancaman-ancaman yang ada; menemu-kenali orang dan struktur, birokrasi, perangkat yang ada agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan, menyusun sasaran yang harus dicapai; dan membangun sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen sehingga mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada.”

Pengorganisasian masyarakat di sini dimengerti sebagai suatu proses pembangunan kekuatan yang melibatkan berbagai pihak dalam menggali persoalan yang terjadi di masyarakat dengan potensi-potensi yang ada dan melakukan intervensi agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Ada tiga hal yang terkait dalam pengertian pengorganisasian masyarakat ini, yakni (1) ada persoalan dan potensi untuk penyelesaian masalah, (2) intervensi ke arah perubahan, dan (3) pihak yang terkait dalam intervensi masyarakat.

Persoalan dalam masyarakat berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhannya dan prioritas dari kebutuhan-kebutuhan tersebut. Karena itu, kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu diidentifikasi dan dikembangkan lebih lanjut secara bersama-sama untuk pemenuhannya (Munif, 2009).

Intervensi ke arah perubahan yang lebih baik tentunya perlu diperhatikan perihal strategi dan pendekatan pengorganisasian, kriteria proses pengorganisasian, prinsip dasar pengorganisasian, dan tahapan kegiatan dalam proses pengorganisasian masyarakat (Wicaksono dan Darusman, 2001). Strategi dan pendekatan pengorganisasian masyarakat menggunakan pendekatan proses yang partisipatif; pendampingan yang intensif dan berkelanjutan; pengembangan media komunikasi yang murah, mudah, dan bisa dimanfaatkan; penguatan simpul belajar untuk mengembangkan masyarakat sipil yang dinamis; dan mengutamakan potensi masyarakat setempat. Sementara kriteria dalam proses pengorganisasian masyarakat meliputi berakar pada sosio kultural; perencanaan, pelaksanaan dan monitoring bersama dengan masyarakat secara partisipatif; adanya penghormatan/ pengakuan hak-hak dan martabat orang kampung; fungsi dan manfaat SDA yang berkelanjutan; mengutamakan prakarsa masyarakat untuk transformasi; dan yang upaya bertahap dan konsisten. Prinsip-prinsip dasar dalam pengorganisasian masyarakat adalah berpihak dan mementingkan komunitas; pendekatan holistik, tidak kasuistik; bersikap independen dan mengembangkan rasa empati; adanya pertanggungjawaban pada rakyat; ada proses saling belajar; kesetaraan; anti kekerasan; mendorong komunitas untuk berinisiatif; musyawarah sebagai media komunikasi pengambilan keputusan dan menghindari intervensi; berwawasan ekosistem; dan praxis. Tahapan kegiatan dalam proses pengorganisasian masyarakat dapat meliputi melebur dengan masyarakat; (informasi awal, membangun kontak person, menjalin pertemanan, memberitahukan kedatangan, terlibat sebagai pendengar, terlibat aktif dalam diskusi, ikut bekerja bersama-sama, monitoring dan evaluasi); penyidikan sosial (survey : data primer dan sekunder, analisis sosial, dokumentasi, publikasi, monitoring dan evaluasi); merancang kegiatan awal (mengumpulkan isu, musyawarah bersama, indentifikasi masalah dan potensi, menentukan agenda bersama, dokumentasi proses, monitoring dan evaluasi); implementasi kegiatan (sesuai dengan kesepakatan hasil musyawarah pada tahap sebelumnya) contoh kegiatan: dialog, pelatihan, unjuk rasa, negosiasi, dll.; pembentukan organisasi rakyat; monitoring dan evaluasi; dan refleksi-aksi.

Pengorganisasian masyarakat ini juga dikenal sebagai proses pekerjaan sosial (Sisworaharjo, 2012). Sebagai proses pekerjaan sosial, CO menggambarkan proses pekerjaan sosial yang sangat mendasar, dipergunakan untuk mencapai tujuan dasar yang sama (the same basic objectives), dan mempergunakan metode-metode yang sama, sebagaimana casework dan group work.

 

  1. 2.      Perubahan alur pemikiran CO ke arah intervensi komunitas

Pengertian pengorganisasian masyarakat (CO) seperti yang digambarkan di atas tentunya memiliki perkembangan alur pemikiran seiring dengan konteks situasi kemasyarakatan (Sisworaharjo, 2012). Pada masa yang lalu, sebagaimana konselor keagamaan, mereka mengetahui masalah dan bagaimana mengatasinya sebelum mereka sampai pada masyarakat yang akan menjadi sasaran/tanggungjawabnya. Namun dalam perannya kemudian dikembangkan dasar pemikiran dan alat dalam ilmu-ilmu sosial untuk memahami di mana dan bagaimana perubahan dapat dilakukan dengan sesedikit mungkin dampak negatifnya, dan dengan dukungan yang sebesar-besarnya dari masyarakat dalam CO. Disadari bahwa masyarakat sendiri harus berjuang dan bertahan untuk menangani kebutuhannya. Sementara itu mereka juga menangani masalah-masalah yang kemudian timbul.

 

a)      Perkembangan istilah

Adi (2008: 203-216) menguraikan latar belakang kehadiran model intervensi pengembangan masyarakat (CD) sambil merujuk pada Brokensha dan Hodge (1969) dan sejarah pengorganisasian masyarakat di Amerika (Cox dan Garvin, 1987). Model intervensi pengembangan masyarakat berkaitan erat dengan disiplin Ilmu Pendidikan (education) dan Ilmu Kesejahteraan Sosial (social welfare). “Sejarah perkembangan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pengalaman bangsa Inggris mengembangkan daerah koloni mereka. Istilah pengembangan masyarakat didefinisikan dan diadopsi pada tahun 1948 untuk menggantikan istilah “pendidikan massa” (mass education)” (Adi, 2008: 203).

Istilah “pengembangan masyarakat” kemudian dirumuskan sebagai “Suatu gerekan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan, berdasarkan inisiatif masyarakat…. Hal ini meliputi berbagai kegiatan pembangunan di tingkat distrik, baik dilakukan oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga nonpemerintah …. [pengembangan masyarakat] harus dilakukan melalui gerakan yang kooperatif dan harus berhubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat” (Brokensha dan Hodge, dalam Adi, 2008: 204-205).

Pemerintah kolonial Inggris kemudian mengadopsi definisi tahun 1948 tersebut dan meredefinisi secara lebih singkat ketika mereka memperkenalkan konsep pengembangan masyarakat di Malaysia. Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai “suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat.” (Adi, 2008: 205).

 

b)      Faktor tempat (place)

Selain di Inggris, awal dari pengembangan masyarakat ditemukan juga di Amerika Serikat. Menurut Brokensha dan Hodge (1969, dalam Adi, 2008: 206), pengembangan masyarakat bersumber dari disiplin ilmu pendidikan, terutama perluasan pendidikan di tingkat pedesaan (rural extension program) yang diperkenalkan pada akhir abad ke-18. Program pada masa itu berfokus pada pendidikan pertanian karena banyak warga Amerika yang tinggal di pedesaan. Apabila dikaitkan dengan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Brokensha dan Hodge lebih melihat bahwa pengorganisasian masyarakat (community organization) lebih banyak diterapkan di perkotaan.

Berdasarkan sejarah di atas, maka terlihat perbedaan antara pengorganisasian masyarakat (CO) dan pengembangan masyarakat (CD). Perbedaannya terdapat pada faktor tempat (place), di mana pengorganisasian masyarakat (CO) lebih mengarah ada daerah perkotaan (yang relatif sudah berkembang) dan pengembangan masyarakat (CD) lebih mengarah pada daerah pedesaan (masyarakat relatif belum berkembang).

 

c)      Faktor tenaga profesional

Sejarah pengorganisasian masyarakat di Amerika menggambarkan bahwa secara historis, perkembangan pengorganisasian masyarakat (CO) di Amerika Serikat telah diawali sejak tahun 1865 (Cox dan Garvin, 1987, dalam Adi, 2008:206-207). Pada saat itu, kegiatan komunitas telah melibatkan tenaga profesional yang bekerja sama dengan masyarakat dari komunitas lokal (indigenous).

Pada periode 1865 – 1914 (periode perang saudara/civil war dan awal perang dunia I), industrialisasi berkembang pesat dan mengakibatkan terjadinya urbanisasi, masalah imigrasi, dan kependudukan. Aktivitas pengorganisasian masyarakat pada periode ini dilakukan oleh individu ataupun institusi tertentu, seperti charity organization societies, yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi kelompok miskin, dan reformasi sosial melalui settlement houses.

Pada periode 1915 – 1929 (pasca Perang Dunia I) terjadi lonjakan urbanisasi dan sektor industry yang potensial, serta semakin meningkatnya konflik sosial, dan muncul krisis yang berkaitan dengan kebebasan masyarakat (civil liberties). Pada periode ini institusi yang bergerak di bidang pengorganisasian masyarakat mengalami peningkatan dan terjalin kerjasama antar-institusi. Kebutuhan lembaga terhadap pendanaan pun mengalami peningkatan, seperti Community Chest, United Fund, dan council of social agencies yang kemudian beralih menjadi community welfare council. Perkembangan profesi di bidang pengorganisasian masyarakat pada periode ini mulai menjadi jelas, antara lain dengan dibuatnya buku “Community Organization) oleh Hart, yang pada abad ke-20 masih didominasi oleh pelatihan tenaga caseworker. Pengorganisasian masyarakat kulit hitam mulai muncul pada periode ini.

Periode 1929 – 1954 terjadi depresi akibat Perang Dunia II yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. Penekanan lembaga CO pada periode ini adalah pada usaha untuk menangani depresi tersebut. CO mulai beralih dari tingkat lokal (yang lebih bersifat private) ke tingkat regional maupun nasional (yang lebih bersifat publik) melalui pemerintah pusat. Pada periode ini tidak banyak inovasi di bidang CO, namun tekanan lebih diarahkan pada upaya pengembangan kerangka teori atau konseptualisasi pemikiran-pemikiran yang ada di seputar pengorganisasian masyarakat.

Pada periode 1955 – 1968 mulai muncul pergerakan pada hak-hak sipil (civil right movement) yang dipelopori antara lain oleh Martin Luther King Jr., dan timbulnya perang Vietnam, serta munculnya pergerakan mahasiswa menuntut hak-hak warga sipil. Perkembangan institusi CO mulai mengarah pada bantuan untuk bidang kesehatan jiwa (terutama untuk keperluan penelitian), pelatihan tenaga profesional, dan pembukaan klinik-klinik kesehatan jiwa, bantuan terhadap upaya-upaya preventif dalam bidang kesehatan mental, penanganan para tunagrahita, para penderita cacat, dan pengguna alcohol. Program-program yang muncul pada periode ini adalah perbaikan kota, pembangunan lingkungan rumah, subsidi perumahan, dan perencanaan regional. Pada periode ini mulai berkembang pemahaman bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab yang baru terkait dengan pemecahan masalah maupun penanganan masalah kesejahteraan rakyatnya, dan mulai ada penekanan pada ideologi demokrasi partisipatif. Perkembangan di bidang profesi dan pendidikan tenaga professional ditandai dengan berkembangnya pelatihan-pelatihan untuk praktisi CO. Pada tahun 1969, sekolah pekerjaan sosial mengembangkan program CO dari 36 (pada tahun 1965) menjadi 48 sekolah. Di samping itu, Asosiasi Nasional para Pekerja Sosial mulai membuat komite di bidang CO yang menyiapkan dan mengembangkan bahan-bahan kepustakaan yang dirancang untuk modifikasi pengetahuan CO.

Periode 1969 dan sesudahnya merupakan awal fase perkembangan CO yang baru. Hal ini berkaitan dengan situasi politik Amerika Serikat ketika Nixon memasuki gedung putih. Nixon memberi dorongan secara lebih lengkap kaitan antara masyarakat (komunitas) dan perencanaan sosial, yang terwujud dalam program bantuan pengembangan masyarakat (community development block grant program). Program ini dikembangkan secara lebih meluas pada masa kepemimpinan Presiden Ronald Reagan yang terkait dengan filosofinya untuk mengurangi peranan pemerintah, khususnya pemerintah pusat, dalam penanganan masalah sosial lokal.

 

d)      Intervensi komunitas

Sesudah tahun 1969 pemerintah pusat mulai mengadakan penarikan bantuan dana untuk banyak kegiatan CO, dan mulai dihentikannya banyak program pemerintah pusat yang berorientasi pada komunitas lokal. Kebijakan ini memunculkan kerja sama antara kelompok lokal dan organisasi regional maupun nasional yang semakin meningkat. Peranan organisasi nonpemerintah dalam bidang CO pun mulai meningkat. Perkembangan profesi dan pendidikan professional pada periode ini ditandai dengan semakin ketatnya dana, penekanan pada keterampilan untuk need assessment, group leadership, budgeting, advokasi, dll. Pendayagunaan perangkat keras seperti computer dan berbagai macam teknologi yang terkait dengan manipulasi data dan komunikasi juga semakin canggih. Sementara itu, para mahasiswa pun diharuskan mempelajari hal-hal yang terkait dengan manajemen dalam organisasi; mengorganisasi masyarakat lokal (komunitas); implementasi kebijakan lokal dan regional. Selain itu, pandangan mengenai keterkaitan intervensi mikro dan makro pun berubah pada berbagai sekolah pekerjaan sosial, di mana pandangan yang muncul adalah upaya mengubah secara lebih terpadu melalui perubahan sistem dan partisipasi klien.

 

  1. 3.      Kritik terhadap CO

Perkembangan sejarah CO dan CD di atas saling melengkapi, baik dari yang berkembang dari koloni Inggris (CD) maupun yang berkembang di Amerika Serikat (CO). Namun, keduanya berkembang dari latar belakang sejarah yang berbeda. Brokensha dan Hodge (1969, dalam Adi, 2008:216-218) melihat perbedaan terletak pada dua hal, yakni pada cakupan wilayah, dan pada tahapan proses. Perihal cakupan wilayah, pengorganisasian masyarakat di Amerika Serikat pada mulanya lebih banyak berkembang di dalam negeri. Sedangkan untuk bangsa Inggris, pengambangan masyarakat pada umumnya diujicobakan di negara-negara koloni seperti Afrika. Sementara pada tahapan proses, proses pengembangan masyarakat yang dilakukan pemerintah Inggris merupakan respon pragmatis terhadap kebutuhan yang dirasakan daerah koloni mereka, yang pada dasarnya merasa kurang mendapatkan layanan yang memadai di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan dalam arti sempit. Sedangkan di Amerika, pengorganisasian masyarakat dimulai pada pengembangan sektor pertanian, yang baru kemudian bergerak ke masalah perkotaan. Kemudian, keduanya melihat bahwa pengorganisasian masyarakat sebagai pendekatan lebih tepat digunakan pada daerah perkotaan, sedangkan pengembangan masyarakat lebih tepat digunakan untuk daerah pedesaan.

a)      Kritikan Dunham dan Milson

Kritikan muncul dari Dunham dan Milson (Dunham [1958], Milson [1974], dalam Adi, 2008: 218-223). Dunham melihat bahwa apa yang dikenal sebagai pengembangan masyarakat (community development) di Inggris, di Amerika dikenal dengan nama peningkatan kondisi masyarakat (community improvement). Dunham mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai “Berbagai upaya yang terorganisasi yang dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, terutama melalui usaha yang kooperatif dan mengembangkan kemandirian dari masyarakat pedesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bantuan teknis dari pemerintah atau lembaga-lembaga sukarela.” Ada 5 prinsip dari Dunham bagi mereka yang berminat pada CO atau CD: (1) pentingnya kesatuan kehidupan masyarakat, (2) pendekatan antar-tim dan multi-lapisan, (3) kebutuhan akan community worker yang serba bisa di pedesaan, (4) pentingnya pemahaman akan pola budaya masyarakat lokal, dan (5) prinsip kemandirian dalam pengembangan masyarakat.

Sementara itu, Milson melihat bahwa istilah “pengembangan masyarakat” yag digunakan pada berbagai literature di Inggris tersebut serupa dengan istilah “pengorganisasian masyarakat” di Amerika Serikat. Selain itu, Milson melihat soal penggunaan istilah pengembangan masyarakat di negara sedang berkembang dan di negara yang sudah berkembang. Pada negara yang sudah berkembang (developed countries), pengembangan masyarakat tidak terlalu difokuskan pada penyediaan kebutuhan dasar masyarakat tetapi lebih diarahkan pada mengembangkan proses demokrasi, memperbaiki proses demokrasi yang ada, dan mengembangkan konklusi logis dari masalah-masalah yang ada. Tujuan utama pergerakan adalah pengembagan harga diri (dignity) dan kepuasan partisipasi. Sedangkan pada negara yang sedang berkembang, fokus perhatian dari pengembangan masyarakat lebih diarahkan pada peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan kondisi ekonomi komunitas, pembuatan fasilitas infrastruktur, membangun fasilitas rumah untuk kelompok ‘miskin’, mengembangkan pendidikan dasar, menengah dan kejuruan, serta menyiapkan lapangan kerja.

b)      Konteks Indonesia

Adi (2008:224) melihat bahwa diskusi tentang CD dan CO di atas menimbulkan pertanyaan “manakah yang lebih luas, apakah pengorganisasian masyarakat ataukah pengembangan masyarakat?” Untuk konteks Indonesia, pada dasarnya ada dua sudut pandang yang terkait dengan pertanyaan di atas, yaitu (1) pihak pertama, melihat bahwa pengorganisasian masyarakat itu lebih luas dari pegembangan masyarakat, mereka menggunakan definisi yang dikembangkan Rothman dan Tropman untuk menggambarkan model intervensi yang dikembangkan oleh pengorganisasian masyarakat, di mana salah satunya adalah pengembangan masyarakat (seperti yang didefinisikan pada beberaa negara yang sudah berkembang); (2) kelompok yang lain menganggap pengorganisasian masyarakat dan pengembangan masyarakat adalah konsep yang serupa, tetapi diterapkan pada negara yang berbeda. Mereka yang sependapat dengan hal ini, antara lain menggunakan penjabaran Brokensha dan Hodge, serta Milson untuk mendukung argumennya.

Melihat konteks Indonesia yang multicultural dan sedang berkembang, saya melihat bahwa CD lebih tepat untuk masyarakat di pedesaan, sedangkan CO lebih tepat untuk masyarakat di perkotaan. Masyarakat di pedesaan lebih diberi tekanan pada pemenuhan kebutuhan dasar dan fasilitas infrastruktur. Sedangkan masyarakat di perkotaan lebih ditekankan pada aspek advokasi bagi warga miskin dan kemandirian ekonomi.

  1. 4.      Penerapan Intervensi Komunitas dalam Kaitan dengan Pengembangan Masyarakat

 

Salah satu contoh penerapan intervensi komunitas dalam bentuk kegiatan pengembangan masyarakat adalah yang dilakukan oleh Pipit Group di bawah ini.

Pipit Group bukan saja memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan pajak kepada masyarakat lokal, tetapi juga berperan aktif dalam semua kegiatan pengembangan masyarakat dan melaksanakan tanggung jawab lingkungan. Pertambangan Bebatu, nama desa setempat, berada di dua wilayah kecamatan. Minimal 3% dari keuntungan bersih tahunan kami disumbangkan untuk kegiatan pengembangan masyarakat lokal. Kami merasa bahwa keterlibatan masyarakat lokal sama pentingnya dengan penyempurnaan proses pertambangan itu sendiri. Kami memastikan ketersediaan air bersih dan listrik di kedua desa di sekitar lokasi pertambangan kami. Selama dua tahun terakhir, Pipit Mutiara Jaya telah membangun dua gedung sekolah yang berjarak lebih dari 3 km dari jalan di dalam desa, dan membantu tiga fasilitas rekreasi. Dari keempat upaya perusahaan kami, lebih dari 40% angkatan kerja saat ini yang beranggotakan 300 orang, telah kami dipekerjakan oleh perusahaan kami dari wilayah setempat. Memperoleh berbagai penghargaan dan sertifikat sebagai perusahaan yang memenuhi standar tertinggi reboisasi dari berbagai lembaga internasional dan mitra, kami bangga mengumumkan bahwa pertambangan Pipit Bebatu telah berhasil melakukan reboisasi 100% di atas lahan yang telah kami tambang, yang pada tahap pertama telah memperoleh penghargaan dari departemen kehutanan Indonesia atas habilitasi yang telah kami selesaikan. Kami juga bangga sebagai anggota Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBICMA) dan Program Pembangunan Masyarakat Nasional. Dalam operasi perikanan kami, banyak karyawan kami yang berasal dari masyarakat lokal. Kami tidak saja memberikan on-the-job training kepada para pekerja lokal namun juga menawarkan peluang untuk mempelajari kecakapan lain yang diperlukan dalam kegiatan perusahaan kami. Kecakapan ini bisa berupa cara bagaimana menjadi operator mesin, pemanen, stocker, atau mempelajari cara mengelola kegiatan logistik yang berkaitan dengan budidaya udang. Yang terpenting bagi perusahaan adalah menciptakan dampak positif bagi masyarakat dari kegiatan usaha kami. Kami merasakan tanggung jawab sosial untuk memastikan bahwa kehadiran kami bisa lebih memberikan dampak yang positif bagi masyarakat lokal.

 

  1. 5.      Pengembangan Masyarakat Pipit Group dan CO

Pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh Pipit Group di atas masih mengarah pada kepentingan perusahaan, dan bukan pada masyarakat lokal. Pertanyaannya adalah “Bagaimana nasib masyarakat selanjutnya apabila Pipit Group telah berhenti beroperasi di wilayah saat ini?” Pertanyaan ini selalu mengganjal karena berkaitan dengan sustainability kehidupan masyarakat di sekitar perusahaan. Tidak cukup intervensi yang dilakukan untuk kepentingan perusahaan tapi perlu intervensi yang mempersiapkan masyarakat bila perusahaan berhenti beroperasi. Kalau tidak demikian, akan muncul masalah sosial yang baru berkaitan dengan kelangsungan kehidupan masyarakat.

 

Penutup

Sejarah Pengorganisasian Masyarakat (CO) dan Pengembangan Masyarakat (CD) telah memberikan inspirasi bagi intervensi komunitas yang tepat dalam masyarakat, entah di perkotaan maupun di perdesaan. Masih ada satu hal yang belum dibahas dan dipertimbangkan untuk intervensi komunitas adalah bagaimana intervensi komunitas yang tepat untuk masyarakat di pinggiran perkotaan. Masyarakat di pinggiran perkotaan adalah masyarakat yang sangat rentan karena berada dalam peralihan habitus antara desa dan kota.

Daftar Pustaka

Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas: Pengambangan Masyarakat sebagi upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.

Adi, Isbandi Rukminto. 2007. Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas. Jakarta: Fisip UI Press.

Adi, Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan beberapa Pokok Bahasan. Jakarta: Fisip UI Press.

Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.

Bintan. 2010. Pengorganisasian Masyarakat (Community Organizing). http://www.bintan-s.web.id/2010/12/pengorganisasian-masyarakat.html

Munif, A. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat. http://environmentalsanitation.wordpress.com/category/pengorganisasian-dan-pengembangan-masyarakat/

Pipit Group. http://www.pipit-group.com/bahasa/xml/csr.xml?+%20random(Infinity)

Riadjohani. 2011. Konsep Pengembangan Masyarakat (Community Development). http://riadjohani.files.wordpress.com/2011/11/1-pengertian-pengembangan-masyarakat.pdf

Sisworahardjo, Suwantji, SH, MDS. 2012. CO sebagai suatu Proses Pekerjaan Sosial. Materi Kuliah Pasca Kessos UI.

Sisworahardjo, Suwantji, SH, MDS. 2012. Sejarah Pengorganisasian Pengembangan Masyarakat. Materi Kuliah Pasca Kessos UI.

Wicaksono, Ahc. Wazir dan Taryono Darusman. 2001. Pengalaman Belajar: Praktek Pengorganisasian Masyarakat di Simpul Belajar. Bogor: Yayasan Puter. (http://rumahiklim.org/wp-content/uploads/2011/08/Catatan-1-Pengalaman-Belajar-Praktek-Pengorganisasian-Masyarakat.pdf).

 

CSR PT. Unilever Indonesia Tbk.

 Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Unilever Indonesia Tbk.

Corporate Social Responsibility (CSR) atau lebih dikenal juga dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah sebuah issue yang sementara hangat di kalangan dunia usaha. Berikut ini digambarkan secara singkat CSR yang dijalankan oleh PT. Unilever Indonesia Tbk. dan analisis kritis atas program-program yang telah dijalankan.

 

  1. 1.      Program-program CSR Yayasan Unilever Indonesia[1]

Yayasan  Unilever Indonesia memfokuskan kegiatannya pada 4 program (issue) utama, yakni (1) Public Health and Education; (2) Humanitarian Aid Program; (3) Small Medium Enterprise Development Program; dan (4) Environment Program. Keempat program ini telah ditetapkan oleh Board of Directors.

Program-program tersebut dibuat berdasarkan pada empat prinsip utama. Pertama, prinsip relevansi. Program-program yang dikembangkan selaras dengan bisnis. Kedua, prinsip model. Program percontohan dikembangkan  terlebih dahulu sebelum direplikasi di daerah-daerah lain. Ketiga, prinsip kemitraan. Prinsip ini dimaksudkan untuk menggalang dukungan mitra-mitra strategis yang memiliki visi yang sama. Keempat, prinsip replikasi. Kegiatan dan pendekatan yang sukses direplikasi di wilayah-wilayah lain.

Berikut ini diuraikan secara ringkas program-program CSR Yayasan Unilever Indonesia:

1)      Public Health and Education (PHE) Program.

Public Health and Education Program merupakan program CSR yang memberi fokus pada kebersihan dan kesehatan dalam masyarakat. Tujuan PHE Program adalah (1) mempromosikan gaya hidup sehat di masyarakat; dan (2) mengurangi angka kematian dan angka orang sakit yang disebabkan oleh diare dan malaria, melalui penyediaan akses sanitasi yang lebih baik dan perubahan perilaku masyarakat dengan mendorong mereka untuk menjalankan gaya hidup sehat.

Strategi yang dibangun dalam pelaksanaan program ini yakni pertama, Unilever mencari pemimpin potensial di dalam masyarakat dengan memberikan sosialisasi tentang program-program PHE. Kedua, pengembangan kader melalui pelatihan. Ketiga, para kader kesehatan akan menyebarkan pengetahuan mereka dengan mengadakan generative training. Dan keempat, lahirlah kader kesehatan yang baru. Para kader inilah yang menjadi agen perubahan di masyarakat dan menjamin keberlanjutan program.

2)      Humanitarian Aid Program

Humanitarian Aid Program berfokus pada bantuan kemanusiaan pasca bencana alam. Unilever bekerja sama dengan beberapa organisasi, seperti Indonesia Peduli, Peduli Bengkulu, dan Berbagi untuk Indonesia dalam mengumpulkan dana dan mendistribusikan bantuan kepada korban bencana alam pada masa gawat darurat dan rekonstruksi. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan, yakni (1) mendirikan sekolah berstandar internasional pasca gempa dan tsunami di Aceh (26 Desember 2004) dalam kerjasama dengan Media Group; (2) membangun pusat pelatihan pasca gempa dan tsunami Aceh (2004) bersama Yayasan Nurani Dunia; (3) mendirikan beberapa fasilitas publik berupa 5 puskesmas, 1 balai masyarakat, dan 1 taman kanak-kanak pasca gempa 27 Mei 2006 di Yogyakarta; (4) mendoasikan berbagai produk dan mendirikan dapur umum dan memproduksi 3.000 nasi bungkus selama 5 hari saat banjir besar melanda Jakarta (Februari 2007); (5) membangun perbaikan fasilitas di Pesantren Darujanna dan di sekitar Bengkulu Utara pasca gempa Bengkulu (12 September 2007); dan (6) menyiapkan dan mendistribusikan 8.000 paket bantuan untuk korban banjir di kawasan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta dalam kerjasama dengan forum Berbagi untuk Indonesia.

3)      Small Medium Enterprise Development Program

Small Medium Enterprise Development Program dilakukan dalam bentuk Black Soybean Farmers Development. Program ini dilakukan dalam kerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) untuk melibatkan petani dalam memproduksi kedelai hitam berkualitas, yang dikenal dengan MALLIKA atau ‘kerajaan’. UGM menyediakan ahli pertanian untuk pendampingan petani, sedangkan Unilever memberikan jaminan pasar dengan komitmen membeli komoditas petani dengan harga yang disepakati bersama, dan menyalurkan bantuan sarana produksi bagi para petani yang membutuhkan melalui koperasi tani. Program ini juga melibatkan kaum perempuan. Lokasi pelaksanaan program adalah Ciwalen, Yogyakarta, Nganjuk, dan Trenggalek. Hingga 2007 sudah dikelola 600 hektar lahan kedelai hitam oleh 600 petani.

4)      Environment Program

Environment Program dilaksanakan untuk memecahkan masalah lingkungan, terutama masalah sampah, yang salah satu sumber utamanya berasal dari sampah rumah tangga. Environment Program ini dilakukan pertama kali di Surabaya (2005) dengan tema”Surabaya Green & Clean”. Masyarakat dididik mengenai pemilahan sampah; sampah organik untuk kompos, sedangkan sampah an-organik didaur ulang. Di samping itu, masyarakat juga didorong untuk melakukan penghijauan di sekitar rumah mereka. Mereka dilatih untuk mengembangkan pengetahuan serta kepemimpinan dan berperan sebagai teladan bagi warga sekitar, menjadi duta lingkungan hidup, dan sumber informasi serta gagasan. Sebagai buah dari program ini, kota Surabaya memperoleh penghargaan internasional Energy Globe Award karena dinilai berhasil menyelamatkan Sungai Brantas.

Environment Program juga dilakukan di Jakarta pada 2006 dengan tema “Jakarta Green & Clean” (JGC). Latar belakang program ini adalah masalah lingkungan yang ditandai dengan kurangnya penghijauan dan banyaknya timbunan sampah. JGC mengambil bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan programnya. Kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan sampah, kebersihan, dan penghijauan berbasis masyarakat. Metode yang dipakai adalah perlombaan. Metode ini dipakai untuk memotivasi masyarakat. Pada tahun 2007 dilakukan perlombaan tingkat RT. Tahun 2008 diadakan di tingkat RW dengan melibatkan 300 RW. Sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 500 RW.

Program-program CSR Unilever Indonesia tersebut berada di bawah Yayasan Unilever Indonesia yang merupakan perwujudan utama dari komitmen Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Unilever Indonesia Tbk. Yayasan Unilever Indonesia dibentuk untuk mewujudkan tujuan PT. Unilever Indonesia Tbk., yaitu tumbuh bersama masyarakat dan lingkungan dalam kehidupan yang berkelanjutan.

Sebelum Yayasan Unilever Indonesia terbentuk, program CSR PT. Unilever Tbk., ditangani langsung oleh departemen/unit kerja perusahaan. Beberapa program yang dilaksanakan sebelumnya, yakni (1) mengadakan ‘Kampanye Cuci Tangan’ dan ‘Kampanye Sikat Gigi’; (2) membina supplier kecil dengan cara pemberian pinjaman; (3) pemberian pelatihan kepada sales dan distributor tentang bagaimana melakukan delivery produk yang baik; (4) pemberian pelatihan kepada para karyawan agar menjadi karyawan dengan high quality; (5) pengadaan ruang kerja yang nyaman bagi karyawan; dan (6) membuat pabrik berkonsep ‘zero waste management’. Tetapi program-program ini tidak membawa dampak yang signifikan karena hanya sebatas ‘hit and run’ dan ‘non-sustainable’. Yayasan Unilever Indonesia dibentuk agar lebih memfokuskan program-program CSR PT. Unilever Indonesia Tbk., agar lebih berkualitas dan berdampak secara sustainable serta mampu memberi image yang baik bagi PT. Unilever Indonesia Tbk.

Oleh karena itu, Yayasan Unilever Indonesia menjalankan program-program CSR dengan misi: (1) melakukan yang terbaik untuk berbagi sumber daya dan kontribusi untuk menciptakan kualitas yang lebih baik; (2) dengan cara membuka potensi masyarakat, menambah nilai kepada masyarakat, mensinergikan kekuatan yang ada dengan sesama mitra kerja, dan menjadi katalisator dalam membangun kemitraan.

 

  1. 2.      Penilaian tentang Pelaksanaan Program CSR PT. Unilever Indonesia Tbk.

Apabila program CSR PT. Unilever Indonesia Tbk., tersebut dikaitkan dengan pandangan dari Kotler dan Lee, maka ada 6 hal yang perlu diperhatikan, yakni (a) choose only a few social issues to support, (b) choose issues that are of concern in the communities where you do business, (c) choose causes that have synergy with mission, values, products, and services, (d) choose causes that have potential to support business goals: marketing, supplier relations, increased productivity, cost reductions, (e) choose issues that are of concern to key constituent groups: employees, target markets, customers, investors, and corporate leaders, and (f) choose causes that can be supported over a long term.

Berikut ini dijelaskan keenam pilihan program menurut Kotler and Lee di atas.[2]

a)      Choose only a few social issues to support

Kotler dan Lee, melalui wawancara dengan beberapa eksekutif, menekankan “the importance of picking only a few major social issues as a focal point” bagi suatu perusahaan untuk program CSR. Issue sosial pokok ini membantu perusahaan agar kehadirannya benar-benar berdampak pada pemecahan masalah sosial tertentu, di mana sumberdaya difokuskan dan tertuju pada one cause. Hal ini dapat membantu perusahaan untuk “say no” to others, dengan menunjukkan prioritas area untuk programnya. Hal ini dapat dilakukan dalam jangka panjang dengan mencari mitra yang kuat dan terpercaya dalam melaksanakan program dengan komitmen untuk waktu yang lama. Akhirnya, dengan menargetkan sumberdaya di beberapa daerah dapat meningkatkan peluang terhubung dengan penyebab/akar masalahnya, dan karena itu, akan meningkatkan potensi brand positioning-nya, dan manfaat pemasaran lain yang diinginkan.

Bila dikaitkan dengan program CSR PT. Unilever Indonesia Tbk., di atas, dapat dikatakan bahwa program CSR yang dilakukan melalui Yayasan Unilever Indonesia mengambil fokus pada 4 isu pokok, yakni PHE Program yang berfokus pada perilaku hidup bersih dan sehat, Humanitarian Aid Program dengan fokus pada bantuan kemanusiaan pasca bencana, Small Medium Enterprise Development Program dengan fokus utama pemberdayaan komunitas petani penghasil kedelai hitam (ekonomi masyarakat), dan Environment Program yang berfokus pada pemberdayaan komunitas untuk pengelolaan sampah. Menurut saya, program-program tersebut tidak merujuk pada one cause dengan masalah sosial tertentu dan di area tertentu, tetapi terbagi dalam beberapa masalah sosial dan dilakukan beberapa daerah.

b)      Choose issues that are of concern in the communities where you do business

Kotler dan Lee menegaskan bahwa program CSR mestinya memilih issue yang menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat di sekitar lingkungan bisnis perusahaan. Program yang berfokus pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan mereka yang tinggal di dalamnya dapat meningkatkan peluang bagi perusahaan untuk diperhatikan dan dihargai di kalangan “key publics”. Hal ini menambah kredibilitas dan kepercayaan atas standar laporan tahunan dan diproklamirkan dalam catalog penjualan, “We believe in giving back to the communities where we do business.” Hal ini juga dapat membantu memecahkan masalah nyata yang dihadapi dalam bisnis, seperti memastikan tenaga kerja terlatih di masa depan, suppliers yang berkualitas, dan bahkan ekonomi yang kuat.

Isu-isu sosial yang diangkat dalam program CSR Yayasan Unilever Indonesia memang memiliki concern pada masalah-masalah yang dihadapi komunitas masyarakat di lingkungan bisnis PT. Unilever Indonesia Tbk. Program yang paling jelas terlihat menjawab permasalahan sosial adalah program pemberdayaan petani kedelai hitam melalui pendampingan yang intensif hingga produksi dan pemasaran. Tapi itu saja belum cukup. Para petani kedelai hitam tidak didampingi sampai pada pengelolaan keuangan rumah tangga yang menjadi bagian penting dari ekonomi rumah tangga mereka. Di samping itu, Yayasan Unilever Indonesia tidak melakukan program yang berkaitan dengan misi perusahaan yang peduli pada pola hidup bersih dan sehat terhadap komunitas petani penghasil kedelai hitam.

c)      Choose causes that have synergy with mission, values, products, and services

Bagi Kotler dan Lee, perusahaan yang melakukan program CSR perlu memilih causes yang sinergis dengan misi, nilai, produk, dan pelayanan perusahaan. Sama seperti kita mengembangkan dan menawarkan produk dan layanan yang konsisten dengan misi perusahaan kita, dan kemudian mempromosikan dan memberikan kepada mereka dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai perusahaan kita, kita juga harus memilih area yang terfokus untuk inisiatif (program) sosial yang memiliki sinergi yang sama. Ketika perusahaan berkontribusi pada causes yang masuk akal, kita menemukan bahwa konsumen kurang mencurigakan produk kita, para investor juga cenderung untuk tidak menilai pada hal-hal yang bersifat peripheral, dan para karyawan lebih menunjukkan keahlian yang dibutuhkan dan lebih bergairah untuk menjadi sukarelawan.

Program-program CSR Yayasan Unilever Indonesia menunjukkan sinergisitas dengan misi perusahaan untuk menambah vitalitas kehidupan melalui pemenuhan kebutuhan nutrisi, kebersihan dan perawatan pribadi sehari-hari dengan produk-produk yang membantu para konsumen merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati hidup. Hal ini nyata dalam program PHE. Nilai, produk dan jasa perusahaan pun sejalan dalam program PHE tersebut.

d)      Choose causes that have potential to support business goals: marketing, supplier relations, increased productivity, cost reductions

Kotler dan Lee melihat bahwa program perusahaan dalam melaksanakan CSR perlu memilih causes yang potensial untuk mendukung tujuan bisnis, yakni pemasaran, relasi supplier, menambah produktivitas, dan mengurangi biaya. Sambil merujuk pada pendapat dari Mikael Porter dari Harvard Business School dan Mark Kramer (Direktur Strategy Group Foundation), Kotler dan Lee menegaskan bahwa dukungan yang simultan untuk tujuan bisnis merupakan strategi filantropi yang benar. Perusahaan dapat memilih untuk mendukung penyelesaian masalah sosial yang memiliki potensi untuk berkontribusi pada tujuan bisnis, serta koneksi ke misi perusahaan, nilai, masyarakat, dan produk serta jasa.

Program CSR Yayasan Unilever Indonesia berupa PHE Program dan Small Medium Enterprise Development Program sangat berkaitan erat dengan tawaran pilihan program dari Kotler dan Lee ini. Hanya, menurut saya, program pemberdayaan masyarakat melalui Environment Program justru menambah cost yang tidak berkaitan dengan tujuan bisnis PT. Unilever Indonesia Tbk. Sebenarnya, kalau mau dilihat lebih jauh, produk-produk PT. Unilever Indonesia Tbk., justru menghasilkan banyak sampah plastik yang sangat tidak ramah lingkungan.[3]

e)      Choose issues that are of concern to key constituent groups: employees, target markets, customers, investors, and corporate leaders

Kotler dan Lee menggarisbawahi pula bahwa ketika perusahaan memilih issue, mestinya isu-isu yang dekat dengan kelompok konstituen kunci, seperti karyawan, target pasar, customer, investor, dan pimpinan perusahaan. Dukungan untuk program sosial ini akan dimanfaatkan bila causes-nya dekat dan akrab dengan ‘key public’, baik internal maupun eksternal. Keberhasilan program sosial ini mengandalkan koneksi dan upaya-upaya resonansi yang dilakukan dengan satu atau lebih dari kelompok-kelompok konstituen kunci. Koneksi tersebut semestinya menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan tentang causes apa yang akan didukung.

Program-program CSR Yayasan Unilever Indonesia telah menunjukkan kerjasama dengan berbagai pihak dalam pelaksanaan programnya. Hal ini sangat jelas dari 4 fokus program yang diangkat oleh Yayasan Unilever Indonesia. Hanya boleh dikatakan bahwa program-program tersebut lebih cenderung berorienatasi pada target pasar ketimbang karyawan, investor dan pimpinan perusahaan. Barangkali hal ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan program CSR yang diserahkan kepada Yayasan. Sementara yang berkaitan dengan karyawan lebih ditangani oleh pihak managemen perusahaan.

f)       Choose causes that can be supported over a long term

Akhirnya Kotler dan Lee melihat hal penting yang lain dalam memilih program (CSR), yaitu memilih causes yang akan didukung dalam jangka waktu yang lama. Untuk mencapai manfaat yang maksimal bagi perusahaan (and the cause), sering bergantung pada komitmen jangka panjang, pada umumnya tiga tahun atau lebih. Seperti halnya dengan upaya komunikasi yang intens, dibutuhkan banyak eksposure untuk menangkap pesan dan peristiwa-peristiwa sebelum didalami lebih jauh, dan sebelum audience ditargetkan guna upaya penggalangan dana dan terutama sebelum kampanye perubahan perilaku dilakukan.

Pada bagian akhir, Kotler dan Lee mengingatkan bahwa mereka yang menerapkan prinsip ini perlu bertanya pada diri sendiri dan partnernya: (1) apakah upaya ini akan menjadi salah satu yang akan menjadi perhatian sosial selama beberapa tahun ke depan; (2) apakah itu berkaitan langsung dengan misi perusahaan, nilai, produk dan jasa; (3) apakah key publics akan terus peduli pada program tersebut.

Yayasan Unilever Indonesia dalam melaksanakan program CSR PT. Unilever Indonesia Tbk., telah menunjukan komitmennya dalam kaitan dengan sustainable. Namun, perlu dikritisi pula bahwa program-program seperti PHE Program dan Environment Program yang berkaitan dengan pola hidup bersih dan sehat merupakan program yang bersentuhan langsung dengan mental masyarakat Indonesia. Ukuran 3 tahun sebagaimana dalam JCG Program  bukanlah waktu yang ideal untuk mengukur perubahan perilaku masyarakat Jakarta. Memang ada perubahan secara fisik dalam hal penghijauan, tetapi Jakarta masih dinodai dengan masalah sampah. Dan metode yang digunakan melalui perlombaan hanya menghasilkan target jangka pendek.

 

  1. 3.      Rekomendasi bagi PT. Unilever Indonesia Tbk

Program CSR PT. Unilever Indonesia Tbk., yang ditangani Yayasan Unilever Indonesia memang lebih diarahkan untuk program yang bercorak eksternal perusahaan. Berikut ini direkomendasikan program CSR Internal PT. Unilever Indonesia Tbk., disertai jenis evaluasi yang sesuai.

  1. a.      Program CSR Internal

Rekomendasi untuk program CSR internal PT. Unilever Indonesia Tbk., dapat dirujuk pada beberapa poin yang berhubungan dengan karyawan dan managemen sebagaimana digambarkan oleh Vives dan Papasolomou-Doukakis, cs., serta Al-bdour, cs., di bawah ini.

Vives mendefinisikan CSR internal sebagai perilaku tanggung jawab secara sosial dan lingkungan. “Internal corporate responsibility as socially and environmentally responsible behavior”.[4] Lebih lanjut, Vives menambahkan bahwa perhatian utama dari CSR meliputi “the health and well-being of workers, their training and participation in the business, equality of opportunities, work-family relationship, and some corporate governance (independent audits, CSR in suppliers, internal control of corruption practices).”[5]

Di samping itu, Papasolomou-Doukakis cs.[6], dalam studinya yang mengangkat isu “philanthropic measures and the stewardship CSR projecst” menekankan karyawan sebagai bagian penting dari perusahaan dan perlu mendapat perhatian melalui program CSR. Papasolomou-Doukakis dkk., menunjuk 9 (Sembilan) kriteria CSR untuk karyawan, yakni:[7]

1)      To provides a work environment which is staff and family friendly

2)      To engage in responsible human resource management

3)      To provide an equitable reward and wage system for employees

4)      To engage in open and flexible communication with employees

5)      To invest in Training and Education

6)      To encourage freedom of speech and allow employees the rights to speak up and report their concerns at work

7)      To provide child care support/paternity/maternity leave

8)      To engage in employment diversity by hiring and promoting women, ethnic minorities and the physically handicapped, and

9)      Promote dignified and fair treatment of all employees.

Tambahan lagi, studi dari A. Ali Al-bdour, cs.,[8] menunjuk lima dimensi yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan CSR internal yang berbasis pada hak para karyawan, yakni training and education, health and safety and human rights instruments development, work life balance, dan workplace diversity. Ternyata kelima dimensi tersebut sangat berpengaruh pada organizational commitment terhadap perusahaan, seperti affective commitment, normative commitment, dan continuance commitment.

Memang dalam laporan tentang pelaksanaan CSR oleh PT. Unilever Indonesia Tbk., telah disebutkan juga empat program yang ditangani oleh pihak managemen berkaitan dengan CSR internal, seperti  pemberian pelatihan kepada sales dan distributor tentang bagaimana melaksanakan delivery produk yang baik, memberikan pelatihan kepada para karyawan agar menjadi karyawan dengan high quality, pengadaan ruang kerja yang nyaman bagi karyawan, dan membuat pabrik berkonsep ‘zero waste management’.

Catatan penting untuk PT. Unilever Indonesia Tbk., agar mengembangkan program CSR internal yang lebih memperhatikan hak dan kewajiban karyawan dan managemen perusahaan di atas.

  1. b.      Jenis Evaluasi yang sesuai untuk program CSR PT. Unilever Indonesia Tbk.

Yayasan Unilever Indonesia selalu mengadakan rapat tahunan yang diikuti oleh Board of Directors hingga para pelaksana program untuk mengevaluasi program CSR PT. Unilever Tbk. Di samping itu, tiap bulan diadakan rapat bulanan untuk mengevaluasi program yang sedang berjalan. Rapat bulanan ini hanya diikuti oleh para pelaksana program. Sementara untuk program JGC, dilakukan monitoring dengan mekanisme laporan rutin dari lapangan dan evaluasi melalui rapat internal antara Environment Program Manager, Environment Program officers, dan tim motivator tiap dua minggu sekali. Evaluasi ini untuk mengetahui progress dan kedala di setiap wilayah. Sedangkan rapat evaluasi dengan para mitra pelaksana JGC dilaksanakan setiap bulan. Evaluasi tahunan JGC dilaksanakan melalui rapat dengan pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program (tim motivator dan para mitra).

Melihat model evaluasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa Yayasan Unilever Indonesia mengevaluasi program CSR secara formatif dan sumatif. Catatan penting untuk evaluasi ini adalah apakah “progam yang dilakukan berjalan sebagaimana rencana yang dibuat serta sesuai dengan tujuan akhir yang hendak dicapai.”[9] Menurut Prayogo, “variable utama yang perlu dinilai dalam evaluasi mengacu kepada variable tujuan program atau proyek dan kemudian mengukurnya seberapa jauh capaian program menurut indicator tujuan dimaksud.”[10] Untuk melihat keberhasilan suatu program, maka perlu dilihat dari impacts terhadap masyarakat yang dibangun. Bagi Prayogo, sebaiknya evaluasi dilakukan oleh pihak ketiga yang mengedepankan etika evaluasi yang netral, obyektif, dan value free. Dan pendekatan pun dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.[11] Evaluasi ini penting untuk meningkatkan business performance, social legitimacy, dan legal compliance PT. Unilever Indonesia Tbk.


[1] Sustainability Report 2008 PT. Unilever Indonesia Tbk. (dalam bahan lampiran tugas akhir mata kuliah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Program Pascasarjana Kessos, FISIP UI, 2012).

[2] Philip Kotler and Nancy Lee, Corporate Social Responsibility: Ding the Most Good for Your Company and Your Cause, (New Jersey: John Willey & Sons, 2005), hlm 238-241. (Lampiran bacaan untuk tugas akhir semester pada Pascasarjana Kessos, FISIP UI, 2012).

[4] A. Vives, “Social and Environmental Responsibility in Small and medium Enterprises in Latin America”, The Journal of Corporate Citizenship, 2006, dalam Al-bdour, A. Ali., Ellisha Nasruddin., and Soh Keng Lin, “The Relationship between internal Corporate Social Responsibility and Organizational Commitment within the Banking Sector in Jordan”, World Academy of Science, Engineering and Technology, 2010, pg. 264-265.

[5] Ibid.

[6] Papasolomou-Doukakis, I., Krambia-Kapardis, M., & Katsioloudes, M., “Corporate Social Responsibility: The Way Forward: Maybe Not!,” European Business Review, dalam ibid., pg. 265.

[7] Ibid.

[8] Al-bdour, A. Ali., Ellisha Nasruddin., and Soh Keng Lin, “The Relationship between internal Corporate Social Responsibility and Organizational Commitment within the Banking Sector in Jordan”, World Academy of Science, Engineering and Technology, 2010, pg. 262-281.

[9] Dody Prayogo, “Evaluasi Program Corporate Social Responsibility dan Community Development pada Industri Tambang dan Migas,” Makara Sosial humaniora, Vol.15, No.1, Juli 2011, hlm. 45.

[10] Ibid.

[11] Ibid., hlm. 45-46

Globalisasi dan Kemiskinan

Globalisasi dan Kemiskinan

Globalisasi dan Kemiskinan dapat digambarkan dalam 3 bentuk analisis berikut ini. Pertama adalah analisis atas Film Nagabonar 2; kedua, analisis atas kehadiran Pasar Ritel Modern; dan ketiga, analisis atas kemiskinan nelayan di Cilincing-Jakarta Utara.

  1. 1.      Analisis Film Nagabonar 2:
  2. a.      Isu-isu

Film Nagabonar 2 mengangkat isu-isu yang relevan dengan situasi masyarakat Indonesia di era globalisasi. Isu-isu itu antara lain, isu kepahlawanan, globalisasi, dan isu tradisi lokal. Isu kepahlawanan terkait dengan kesadaran warga bangsa untuk menghormati jasa pahlawan bangsa dan meneruskan dalam pembangunan saat ini dan masa depan. Isu globalisasi terkait dengan era pasar bebas dan maraknya investasi asing. Sedangkan isu tradisi lokal terkait dengan penghargaan terhadap leluhur yang “masih hidup dalam hati”. Ketiga isu ini saling terkait satu sama lain dalam bingkai globalisasi.

  1. b.      Alasan terjadi

Ketika menonton kembali film Nagabonar 2, saya menemukan bahwa kemajuan di era globalisasi ini telah mempengaruhi pola pikir, pola rasa, dan pola tindak masyarakat Indonesia. Masuknya pengaruh asing yang materialistis dan hedonistis. Refleksi terhadap pengaruh globalisasi ini dapat dituangkan dalam tiga bingkai refleksi, yakni bingkai ekonomis, bingkai konsumeristis, dan bingkai nilai.[1]

Pertama, bingkai ekonomi. Menurut Mudji Sutrisno, SJ, arus globalisasi ekonomi telah menyebabkan terjadinya marginalisasi mereka yang tidak punya modal berhadapan dengan yang punya modal kuat. Marginalisasi ekonomi ini diikuti oleh diskriminasi profesi, keterampilan, tanpa modal, dan eksklusif sosial yang mengoyak harkat dan Hak Asasi Manusia. Logika pasar global yang berada di dalamnya adalah seperangkat ide, tindakan praksis sistemik dan gerak jaringan yang menomor-satukan laba (keuntungan).

Kedua, bingkai konsumeristis. Mudji Sutrisno SJ menjelaskan bahwa hasil langsung dari globalisasi adalah masyarakat yang konsumeristis dengan ciri utama masyarakat tidak membeli barang-barang materi atas dasar kegunaan untuk kebutuhan hidup hariannya, tetapi membeli komoditas karena ma uterus memuasi hasrat beli konsumsi yang dipacu oleh iklan-iklan demi gaya hidup, demi identitas posisi sosial hasil citraan serta menikmati tindakan membeli dan mengonsumsi sistem tanda bersama itu untuk prestige identitas. Masyarakat yag demikian tidak hanya kehilangan bayangan dirinya, refleksi tentang dirinya, tetapi juga seluruh cermin sudah tidak ada lagi. Inilah keterasingan manusia dalam masyarakat konsumeristis.

Ketiga, bingkai nilai. Mudji Sutrisno SJ mengkritisi globalisasi karena lebih bercorak materialistis. Dengan materiasasi uang, maka hubungan antar manusia disempitkan dalam hubungan yang saling “membendakan” dalam proses reifikasi. Ukuran nilai acu adalah laba, ibalan materi, uang, praktis dan nilai-nilai pragmatis riil langsung yang memundurkan nilai “abstrak” solidaritas, rela peduli untuk korban dan memberi tanpa hitung-hitungan. Di samping itu, terjadi erosi budaya-budaya tradisional dan kepercayaan-kepercayaan agamis yang disadari berlangsung di mana-mana, terutama ketika “yang transenden” diganti dengan “yang imanen”.

  1. c.       Aspek-aspek kebijakan dan program yang pro the poor

Berdasarkan refleksi dalam tiga bingkai di atas, maka kebijakan yang perlu diambil adalah perhatian terhadap budaya bangsa. Mudji Sutrisno SJ menegaskan bahwa dalam menghadapi segala perkembangan di era globalisasi ini, diperlukan strategi kebudayaan, yaitu jalan pendiri bangsa, jalan cerdas, dan jalan mempertemukan kepentingan versus nilai.[2] Jalan pendiri bangsa ditapaki dengan menguasai logika, pemikiran, bahasa, cara-cara organisasi “penjajahnya” dan merebutnya dengan pencerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan budi, mentalitas, watak pekerti dan iman serta manajemen ekonomi. Sedangkan jalan cerdas strategi transformasi budaya, yang berarti kritis terhadap nilai yang menjajah kita, yang (membuat) dehumanis terhadap sesame maupun lingkungan hidup serta membahasakan secara baru setelah menguji tantangannya. Sedangkan jalan mempertemukan kepentingan versus nilai ditempuh melalui duduk bersama lalu menyepakati “kepentingan demi nilai kebersamaan” agar globalisasi tidak menghancurkan bumi semesta kebersamaan kita, tidak menghabiskan kekayaan alam serta tidak memaparkan jurang mengerikan antara konsumsi negara maju dan negara miskin.

Program-program yang pro the poor dapat dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat dan ekonomi kerakyatan, serta pemberdayaan masyarakat adat terpencil dengan memperhatikan dan menghargai nilai-nilai lokal.

  1. 2.      Analisis Dampak Perdagangan bebas bagi Pelaku Bisnis
  2. a.      Fakta Tumbuhnya Pasar Ritel Modern

Perdagangan bebas yang ditandai, antara lain, dengan kehadiran pasar modern berupa mall dan minimarket telah menjadi momok yang menakutkan bagi eksistensi pedagang tradisional dan toko-toko gelontongan. Harian KOMPAS, Jumat, 1 Juni 2012 menurunkan berita dengan judul: Usaha Kecil Terpukul: Minimarket Berjaringan Merambah Perkampungan. Berita tersebut menyebutkan, “Pertumbuhan pasar ritel modern yang tidak terkendali memukul pemilik toko kelontong dan pedagang pasar tradisional di beragai daerah. Pendapatan mereka jauh menurun setelah minimarket berjaringan menjejali jalan-jalan protocol hingga merasuk ke kampung-kampung.”[3]

Hal yang menarik di sini adalah kehadiran pasar ritel modern tersebut dibangun dalam jarak yang berdekatan dan berada di antara toko-toko kelontongan dan pasar tradisional. Tambahan lagi, pemerintah daerah begitu mudah mengeluarkan ijin bagi kehadiran pasar ritel modern tersebut. Berita dari Harian KOMPAS tersebut menyebutkan bahwa di kota Makasar telah ada sekitar 150 minimarket berjaringan. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Makasar telah menerbitkan 1.994 ijin sepanjang tahun 2011, dan sekitar 15% dari ijin tersebut adalah ijin mendirikan minimarket. Selain di Makasar, Pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah pun telah mulai membatasi pemberian ijin pendirian minimarket berbasis waralaba besar di desa-desa. Dan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, muncul tuntutan warga agar peraturan daerah tentang pengelolaan pasar ditegakkan lagi, karena disinyalir terjadinya pelanggaran terhadap Perda tersebut.[4]

  1. b.      Faktor Penyebab Tumbuhnya Pasar Ritel Modern

Tumbuh suburnya pasar ritel modern sampai ke pelosok tanah air dan kalahnya persaingan dari pasar tradisional tidak terlepas dari beberapa faktor, antara lain kebijakan pemerintah pusat, kebijakan pemerintah daerah, perluasan lapangan kerja, buruknya infrastruktur kelembagaan pasar tradisional, lemahnya political will pemerintah daerah, dan belum adanya payung hukum yang memberikan sanksi tegas terhadap pelanggar peraturan industri ritel.

Pertama, kebijakan pemerintah Indonesia. Dampak globalisasi dan perdagangan bebas telah mengantar pemerintah untuk mengambil kebijakan berkaitan dengan pasar ritel modern. Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan ini setelah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada tahun 1998. Kebijakan ini telah memberi peluang kepada investor asing untuk memulai industri ritel di Indonesia.[5] Konkretisasi LoI ini dituangkan dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat perbelanjaan dan Toko Modern dan aturan pendukung yang dikeluarkan oleh Permendag No. 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Toko Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.[6]

Kedua, kebijakan pemerintah Daerah. Diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia telah memberi peluang juga kepada kepala daerah untuk mengatur, antara lain, keberadaan pasar ritel di daerahnya. Hal ini tentunya memberikan manfaat bagi penambahan PAD. Kebijakan pemerintah pusat tentang pasar ritel ini kemudian diikuti oleh pemerintah daerah berkaitan dengan perijinan, zonasi, dan jam buka toko ritel.[7]

Ketiga, perluasan lapangan kerja. Kehadiran pasar ritel modern telah membuka peluang bagi terserapnya lapangan pekerjaan bagi sebagian warga. Menurut laporan perekonomian tahun 2007, industri ritel menduduki urutan kedua dalam penyerapan tenaga kerja setelah industri pertanian.[8] Hal ini tentunya memberikan dampak bagi upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Keempat, buruknya infrastruktur kelembagaan pasar tradisional. Infrastruktur kelembagaan pasar tradisional yang buruk membuat pasar tradisional kurang diminati pelanggan. Pemerintah dianggap gagal dalam mengelola pasar tradisional agar mampu bersaing dengan pasar ritel modern.[9]

Kelima, lemahnya political will pemerintah daerah. Pembangunan sarana fisik pasar tradisional masih terkesan asal-asalan saja. Pasar tradisional menjadi lokasi yang kumuh dan kotor serta becek. Di sini, kemauan baik pemerintah daerah dalam membangun pasar tradisional patut dipertanyakan.[10]

Keenam, belum adanya payung hukum yang memberikan sanksi tegas terhadap pelanggar peraturan industri ritel. Meskipun Perpres 112 dan Permendag 53 serta Perda-perda sudah ada, namun banyak terjadi pelanggaran di lapangan. Ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam menegakkan peraturan ini menjadi sumbangan besar kekalahan bersaing dari pasar tradisional.[11]

  1. c.       Strategi mengatasi pasar ritel modern

Meskipun kehadiran pasar ritel modern memberikan sumbangan yang berarti bagi pengentasan kemiskinan melalui penyerapan tenaga kerja, namun di sisi lain keberadaan pasar tradisional justru mengalami ancaman kebangkrutan karena gagal dalam persaingan dengan pasar ritel modern. Oleh karena itu, perlu ada strategi dari pemerintah untuk melindungi keberadaan pasar tradisional, yang juga tempat masyarakat menggantungkan hidupnya. Strategi penguatan pasar tradisional antara lain:

Pertama, pemberdayaan pasar tradisional melalui pembangunan fasilitas dan renovasi fisik pasar, peningkatan kompetensi pedagang dan pengelola pasar, melaksanaan program pendampingan pasar, penataan dan pembinaan pasar, mengevaluasi pengelolaan pasar tradisional, serta mengupayakan pencarian dana alternative selain APBD untuk memberdayakan pasar tradisional. Kedua, memperketat proses perizinan dalam pendirian ritel modern baru, terutama ritel asing. Ketiga, mengatur kembali penataan dan kebijakan zonasi ritel asing dengan pasar tradisional, seperti zonasi kawasan, zonasi jarak, dan zonasi rasion penduduk. Keempat, mendorong pengelolaan pasar tradisional ke arah pasar modern. Di atas kesemuanya ini, kemauan baik dan langkah konkrit pemerintah dalam kerjasama dengan masyarakat sangat dibutuhkan.[12]

 

  1. 3.      Analisis Kehidupan Nelayan Kampung Cilincing-Kecamatan Cilincing-Jakarta Utara
  2. a.      Kondisi fisik kehidupan nelayan[13]

Berdasarkan hasil penelitian kelompok dalam tugas Perspektif Lokal, Nasional dan Global terhadap Kemiskinan, yang dilakukan kelompok kami di Kampung nelayan Cilincing, Kecamatan Cilincing Jakarta Utara, secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi fisik kehidupan nelayan Cilincing sangat memprihatinkan. Hal ini nampak dari lingkungan yang kumuh dan rumah-rumah yang dibangun seadanya dan tanpa ada pola yang teratur. Secara geografis, kampung nelayan Cilincing berada rata-rata 50cm di atas permukaan laut, dengan jenis tanah empang dan rawa yang cukup dalam. Di wilayah kecamatan Cilincing juga terdapat beberapa sungai dan saluran pembuangan yang terdapat di lingkungan dan digunakan sebagai tempat pembuangan sampah dan WC penduduk. Akibatnya, air menjadi sangat keruh, hitam, dan tidak bergerak. Tempat tambatan perahu nelayan pun diatur seadanya saja tanpa memperhatikan kerapian dan keindahan pantai.

Fasilitas umum berupa pasar ikan pun tidak luput dari kekumuhan dan bau-busuk sana-sini. Sistem drainase tidak ditata baik sehingga gampang terjadi banjir di wilayah ini. Sarana kesehatan di Kecamatan Cilincing hanya terdiri atas 2 puskesmas dan 1 apotek. Sementara sarana pendidikan terdiri atas 7 TK, 12 SD, 4 SLTP dan 2 SLTA. Kondisi fisik sarana umum ini juga belum terurus dengan baik.

  1. b.      Faktor penyebab

Gatot Winoto, dalam tesisnya tentang Pola Kemiskinan di Permukiman Nelayan Kelurahan Dompak Kota Tanjung Pinang,[14] menemukan bahwa ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kemiskinan di permukiman nelayan. Faktor internal terdiri atas faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan. Faktor sosial terkait dengan pola hidup yang tidak memperhatikan kebersihan lingkungan. Selain itu, adanya keteratasan sarana umum seperti drainase, saluran sanitasi maupun tempat pembuangan sampah turut mempengaruhi kebersihan lingkungan di permukiman nelayan. Sementara faktor ekonomi terkait dengan pendapatan yang kecil bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan nelayan dan rumah tangga. Hal ini membuat para nelayan menggunakan fasilitas seadanya saja. sedangkan faktor pendidikan terkait dengan skill dan keahlian menangkap ikan, yang berdampak juga pada hasil yang diperoleh nelayan.

Di samping faktor internal, terdapat juga faktor eksternal berupa sistem administrasi pemerintah dan penyediaan pelayanan pemerintah. Sistem administrasi pemerintah berkaitan dengan akses masyarakat ke pemerintah dalam memenuhi kebutuhannya. Sedangkan faktor penyediaan layanan pemerintah terait dengan sarana dan prasarana yang kondusif bagi warga.

Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, untuk kasus Jakarta, yang sangat terbuka terhadap pengaruh globalisasi, pola hidup masyarakat yang konsumtif juga turut memainkan peranan penting. Budaya konsumtif ini berpengaruh dalam hal produk-produk untuk rumah tangga yang tidak ramah lingkungan seperti plastik dan kaleng. Dan juga, faktor kepadatan penduduk di Jakarta memberikan pengaruh terhadap perubahan demografi kota.

  1. c.       Kebijakan dan program

Terkait dengan faktor internal di atas, maka kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat perlu dikedepankan. Pemberdayaan tersebut mencakup perilaku hidup bersih dan sehat, pengelolaan sampah rumah tangga, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pelatihan-pelatihan atau kursus untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat. Sedangkan program dan kebijakan terkait faktor eksternal, maka perlu kemauan baik pemerintah untuk menangani masalah lingkungan dan tata kota, drainase, dan MCK yang layak bagi penduduk. Selain itu, pemerintah juga perlu membuka akses ke warga nelayan agar tidak terkesan birokratis. Hal ini penting agar pemerintah mudah menyerap dan memenuhi kebutuhan warga miskin kota, khususnya warga nelayan Cilincing.

 


[1] Mudji Sutrisno, “Jalan Kebudayaan Menghadapi Globalisasi”, Materi Kuliah Etika Pembangunan pada Pascasarjana Kessos 2012.

[2] Ibid.

[3] Harian KOMPAS, Jumat, 1 Juni 2012, hlm. 21.

[4] Ibid.

[8] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Beni Haryadi, dkk., “Kondisi dan Kualitas Hidup Nelayan di Kampung Nelayan Cilincing, Keluarahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara”, Tugas Kelompok Perspektif Lokal, Nasional dan Global dalam Kemiskinan, Pascaasrjana Kessos, Fisip UI, 2012.

Kemiskinan dan Neoliberalisme

Kemiskinan dan Konsep Neoliberalisme

Pendahuluan

Membahas Kemiskinan dan Neoliberalisme, ada dua soal yang harus dijawab. Soal pertama berkaitan dengan Kemiskinan, sedangkan soal kedua tentang konsep neoliberal yang banyak diperdebatkan oleh pakar-pakar, baik sosial maupun ekonomi. Berikut penjelasannya.

  1. 1.      Kemiskinan dan perubahan sosial/permasalahan sosial[1]

Kemiskinan dalam pengertian terbatasnya materi dapat mendorong terjadinya perubahan sosial, bahkan bisa melahirkan permasalahan sosial. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa orang miskin identik dengan orang yang tidak punya rumah, minimnya perlengkapan dalam rumah, pakaiannya terbatas. Secara kelompok, kaum miskin nampak dari perkampungan kumuh, terbatasnya fasilitas air bersih, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai. Dalam keterbatasan ini, kaum miskin dapat tampil dalam sikap yang rendah diri, dengan pikiran yang pragmatis.

Karl Marx membedakan kaum miskin dari kaum buruh. Bagi Marx, orang miskin adalah mereka yang menganggur, tuna wisma, pengemis, pemulung, pelacur murahan. Mereka ini hidup tanpa perlindungan sosial. Dalam beberapa hal, kaum miskin ini mengalami penggusuran, penangkapan, dan rehabilitasi semu yang semakin memperparah hidup mereka. Bagi Marx, kaum miskin seperti ini dilihat sebagai parasit sosial yang merugikan negara. Marx menyebut kaum miskin ini sebagai Lumpen Proletariat.

Bagi kaum kapitalis, orang miskin ini dilihat sebagai cadangan industri yang sekali waktu dapat digunakan untuk menurunkan posisi tawar terhadap majikannya.

Namun, Antonio Negri menolak pandangan Marx dengan pemisahan sosial di atas. Bagi Negri, dewasa ini sudah tidak ada lagi pekerjaan yang aman, karena segalanya sudah bersifat tentatif, kontrak, musiman, dan outsourcing. Bagi Negri, kaum miskin, pengangguran,  atau tunawisma merupakan subyek yang berperan aktif dalam produksi sosial dan sangat kreatif dalam mempertahankan hidupnya.

Dalam perdebatan para ahli tentang kaum miskin di atas, yang jelas bahwa kaum miskin tetap berkekurangan materi dan menjadi masalah ekonomis, serta menimbulkan masalah sosial baru, seperti korupsi di kalangan aparat negara. Masalah sosial kemiskinan dapat juga mewujud dalam bentuk stigmatisasi terhadap orang miskin yang dianggap pelit dan suka mengkhayal. Kaum miskin dicap pelit karena mereka sangat hati-hati dalam mengeluarkan uang karena belum tentu mereka mendapatkan uang kembali. Mereka suka mengumpulkan barang-barang bekas dengan maksud digunakan untuk berbagai keperluan. Tetapi kemudian, tumpukan barang bekas ini dapat merugikan kesehatan mereka.

Kaum miskin juga diberi stigma sebagai yang suka mengkhayal untuk mendapatkan uang atau barang material lain dalam waktu cepat. Hal ini dapat menyeret mereka ke masalah perjudian dengan harapan menjadi kaya dalam waktu singkat. Tapi hal ini justru semakin memperparah keadaan mereka. Selain terlibat dalam perjudian, kaum miskin ini menjadi sasaran empuk untuk dimanfaatkan oleh para politisi untuk meraih suara dalam kampanye pemilu dengan politik uang atau janji-janji palsu. Mereka mudah terlibat juga dalam pencurian, meskipun resikonya adalah nyawa. Di samping itu, kaum miskin ini menjadi sasaran empuk bagi para pengedar narkoba dan berkahir pada hidup yang mendekam di rumah tahanan. Bagi kaum wanita miskin, niatan untuk menjadi cepat kaya dapat menjerat mereka untuk masuk dalam dunia hiburan malam yang tidak sehat dan pelacuran. Akhirnya mereka mudah terinfeksi virus yang mematikan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kaum miskin cenderung untuk menjadi pragmatis dalam hidupnya dan merugikan diri mereka sendiri.

Masalah sosial dalam wajah kemiskinan yang pragmatis tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berkekurangan secara materi, tetapi merasuk juga di kalangan yang secara ekonomi memiliki standar hidup yang layak. Hal ini bisa dilihat dari perilaku para pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi. Selain para pejabat, perilaku korupsi ini juga terjadi di kalangan militer yang menguras pihak perusahaan sebagai “imbalan” atas pengamanan perusahaan, sekaligus menindas masyarakat lokal dalam kerjasama dengan pihak perusahaan untuk mendapatkan kemudahan investasi secara illegal. Selain perilaku korupsi, kemiskinan juga menjadi masalah yang sengaja diatur di kalangan instansi pemerintahan dengan adanya perbedaan gaji antara pegawai negeri yang bekerja di lembaga keuangan – yang notabene memperoleh gaji lebih tinggi, dan pegawai negeri yang bekerja di lembaga non keuangan – yang memperoleh gaji standar. Pola gaji yang tidak berimbang ini dapat mendorong perilaku korupsi berjemaah dengan memanipulasi anggaran.

 

  1. 2.      Konsep neoliberal.

Konsep neoliberal banyak diperdebatkan para ahli, baik sosial maupun ekonomi. Karl R. Popper mengemukakan beberapa 8 tesis tentang liberalisme tersebut:[2]

1)      Negara adalah suatu kejahatan yang tak terhindarkan: kekuasaannya tidak boleh dilipatgandakan melebihi apa yang diperlukan.

2)      Perbedaan antara sebuah demokrasi dan sebuah tirani adalah bahwa di dalam sebuah demokrasi pemerintah dapat ditumbangkan tanpa pertumpahan darah; dalam sebuah tirani tidak bisa.

3)      Demokrasi itu sendiri tidak dapat memberikan keuntungan kepada warga negara dan memang seharusnya tidak diharapkan demikian. Demokrasi hanya menyediakan sebuah kerangka yang di dalamnya warga negara mungkin bertindak dalam suatu cara yang kurang lebih teroganisir dan koheren.

4)      Kita adalah democrat, bukan karena mayoritas selalu benar, melainkan karena tradisi demokratis merupakan tradisi yang keburukannya kita ketahui paling sedikit.

5)      Lembaga saja tidak pernah memadai jika tidak ditopang oleh tradisi. Lembaga selalu ambivalen dalam pengertian bahwa, dengan tidak adanya sebuah tradisi yang kuat, lembaga-lembaga tersebut mungkin juga melayani tujuan yang berlawanan dari yang dimaksudkan.

6)      Sebuah utopia liberal – yakni, sebuah negara yang didesain secara rasional berdasarkan suatu tabula rasa tanpa-tradisi – merupakan suatu kemustahilan. Karena prinsip liberal menuntut bahwa pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan tiap-tiap orang yang diharuskan oleh kehidupan sosial hendaknya diminimalisir dan disamakan sejauh mungkin.

7)      Prinsip-prinsip Liberalisme mungkin digambarkan sebagai prinsip-prinsip penilaian, dan jika perlu prombakan atau pengubahan, atas lembaga-lembaga yang ada, ketimbang menggantikan lembaga-lembaga yang ada. Liberalisme lebih merupakan suatu keyakinan evolusioner ketimbang revolusioner (kecuali jika ia dihadapkan dengan sebuah rezim tiranis).

Di antara berbagai tradisi tersebut, yang harus kita anggap penting adalah apa yang mungkin bisa kita sebut “kerangka moral” (yang berhubungan dengan “kerangka legal” kelembagaan) sebuah masyarakat. Hal ini mencakup pengertian tradisional masyarakat tentang keadilan atau fairness, atau derajat sensivitas moral yang telah dicapainya. Kerangka moral ini berfungsi sebagai dasar yang memungkinkannya mencapai suatu kompromi yang fair atau adil di antara berbagai kepentingan yang bertentangan di saat kompromi demikian diperlukan. (Karl R. Popper)

Di samping tesis liberalisme yang menjanjikan di atas, ada ahli juga yang menentang tesis tersebut. Para penentang terutama berasal dari para pemikir sosial maupun konservatif.[3] Baik para pemikir sosialis maupun konservatif mengemukakan berbagai kritik yang jitu terhadap pandangan liberal dan masyarakat liberal yang dapat dipahami dan dikaji hanya dalam konteks historis di mana ketiga tradisi tersebut lahir. Kaum konservatif kadang mencemooh perenungan teoretis atas kehidupan politik, dan menyarankan bahwa pengetahuan politik terutama adalah pengetahuan praktis tentang suatu kelas berkuasa dalam kaitannya dengan bagaimana berbagai persoalan negara dijalankan – suatu bentuk pengetahuan yang paling baik dibiarkan saja dan tak disimpangkan oleh pensistematisasian rasionalis. Bagi pemikiran konservatif, hubungan-hubungan dan otoritas merupakan aspek-aspek dari bentuk alamiah kehidupan sosial, yang tidak mungkin dijelaskan dalam bentuk liberal melalui suatu kontrak di antara individu-individu, apalagi rujukan pada keyakinan-keyakinan moral yang mencirikan gerakan-gerakan sosialis. Konservatisme Inggris abad ke-19 menelurkan sebuah aliran penafsiran historis dan kritik sosial, yang menggambarkan industrialism sebagai sebagai sesuatu yang menyebabkan runtuhnya standar kehidupan umum dan mengguncang hubungan hierarki lama di mana penguasa mengakui kewajiban terhadap masyarakat umum.

Dalam banyak hal pemikiran sosialis menggemakan suara-suara konservatif dalam meratapi pudarnya adat-kebiasaan lama yang disebabkan oleh perdagangan dan industri. Kaum sosialis sebagian besar adalah orang-orang yang optimis menyangkut konsekuensi sosial dari industrialism dan melihat keberlimpahan yang dimungkinkan oleh industry sebagai syarat kemjuan yang diperlukan untuk menuju suatu masyarakat egalitarian tanpa kelas. Namun, kaum sosial sebagian besar menolak individualisme abstrak yang mereka temukan dalam pemikiran liberal dan menolak gagasan-gagasan liberal tentang masyarakat sipil dan lebih mendukung konsepsi-konsepsi tentang komunitas moral. (John Gray).

 

Sejarah perkembangan neoliberalisme:[4]

Liberalisme – dan khususnya liberalism dalam bentuk klasiknya – adalah teori politik modernitas. Dalil-dalilnya adalah ciri-ciri paling khas dari kehidupan modern – individu yang otonom dengan perhatiannya pada kebebasan dan privasi, pertumbuhan kekayaan dan arus penemuan serta inovasi, mesin pemerintahan yang serentak sangat diperlukan bagi kehidupan sipil dan merupakan ancaman terhadapnya – dan pandangan intelektualnya merupakan suatu pemandangan yang dapat muncul hanya dalam kepenuhannya dalam masyarakat pasca-tradisional Eropa setelah runtuhnya Kekristenan abad pertengahan. (John Gray).

Para filosof, sosiolog, dan ekonom abad ke-18 dan awal abad ke-19 merumuskan sebuah program politik yang berfungsi sebagai panduan bagi kebijakan sosial pertama-tama di Inggris dan Amerika Serikat, dan kemudian di benua Eropa, dan akhirnya juga di wilayah-wilayah dunia yang lain. Program ini sebelumnya tak pernah dijalankan secara penuh di mana pun. Bahkan di Inggris, yang disebut sebagai kampung halaman liberalism dan model negara liberal, para pendukung kebijakan liberal tidak pernah berhasil mendapatkan semua tuntutan mereka. Di wilayah-wilayah dunia yang lain, hanya sebagian program liberal tersebut yang dijalankan, sementara bagian yang lain, yang tak kalah penting, ditolak sejak awal atau dibuang setelah beberapa waktu yang singkat. Hanya dengan suatu pelebih-lebihan seseorang bisa berkata bahwa dunia pernah mengalami suatu era liberal. Liberalism tidak pernah diizinka untuk berjalan sepenuhnya. Namun, meski supremasi gagasan-gagasan liberal tersebut singkat dan sangat terbatas, hal itu cukup mampu mengubah wajah dunia. Suatu pertumbuhan ekonomi yang luar biasa terjadi. Terbukanya kekuatan produktif manusia sangat melipatgandakan sarana-sarana untuk bertahan hidup. (Ludwig von Mises)

 

Penerapan Neoliberal di Indonesia:

Apabila neoliberal diterapkan di Indonesia, maka akan menimbulkan bukan kesejahteraan melainkan peningkatan dalam jumlah orang miskin. Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.

Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya IndosatTelkomBNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.[5]

Pembangunan yang menekankan pertumbuhan ini akan lebih banyak merugikan masyarakat menengah ke bawah. Akses mereka untuk mengembangkan ekonomi berskala kecil terhambat oleh keterbatasan modal usaha dan harus bersaing dengan para pemodal besar. Jelas kekalahan terjadi di sana. Misalnya, terungkap dari penelitian saya di bawah ini.[6]

Globalisasi ekonomi yang ditandai dengan era pasar bebas telah membawa dampak yang luar biasa dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, khususnya masyarakat di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Persaingan dalam dunia bisnis pun tidak terhindarkan. Di kota-kota besar telah muncul supermarket-supermarket yang memasarkan aneka bahan kebutuhan harian rumah tangga dalam kondisi yang agak “stabil”. Kehadiran supermarket-supermarket di kota-kota besar ini dalam arti tertentu telah menggeser keberadaan pasar tradisional, yang di dalamnya para pedagang dari kalangan ekonomi terbatas berkiprah.

Salah satu pasar tradisional yang dapat dilihat di sini adalah Pasar Inpres Timbul Barat di Kelurahan Tomang, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Pasar Timbul ini tergolong unik karena berada di lokasi yang tidak jauh dari supermarket-supermarket seperti Superindo Roxi Square, Hari-Hari Roxy Mas, Mal Taman Anggrek, dan Carefour Central Park (lihat lampiran peta Tomang). Supermarket-supermarket ini juga memasarkan berbagai kebutuhan rumahtangga.

Konsekuensinya, para pedagang di Pasar Inpres Timbul Barat mengalami apa yang disebut sebagai kesepian pembeli. Dari pengamatan awal yang kami lakukan, aktivitas pasar agak ramai mulai pada pagi-pagi sampai jam 09.00 WIB. Di atas Pkl. 09.00 pada umumnya sudah sepi pembeli. Dalam satu kesempatan pembicaraan tidak resmi juga ada seorang pedagang mengatakan bahwa dia mengalami kesulitan karena sepinya pembeli dan berupaya untuk mencari cara sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.


[1] Permadi, Priyadi, Masalah-masalah Kemiskinan, Materi Kuliah Pascasarjana Kessos, 2012.

[2] Doering, Detmar (Penyunting), Liberisme, Jakarta: Freedom Institute, 2010, hlm. 1-4

[3] Doering, Detmar (Penyunting), Liberisme, Jakarta: Freedom Institute, 2010, hlm. 90-100

[4] Doering, Detmar (Penyunting), Liberisme, Jakarta: Freedom Institute, 2010, hlm. 6-19 dan 90-100

[6] Amo, Anselmus, Upaya Pedagang Tradisional Pasar Inpres Timbul Barat dalam Upaya Memenuhi Kebutuhan Dasar Keluarga, Penelitian Sosial, 2011.

Liberalisme (Buku)

LIBERALISME

Buku Liberalisme yang disunting oleh Detmar Doering dapat dilihat dalam lima pokok. Pertama tentang sejarah liberalisme, kedua tentang tesis liberalisme, ketiga tentang tujuan liberalisme, keempat tentang wujud liberalisme, dan kelima tentang kritik atau penentang liberalisme itu sendiri.

  1. 1.      Sejarah Libearlisme

Liberalisme – dan khususnya liberalism dalam bentuk klasiknya – adalah teori politik modernitas. Dalil-dalilnya adalah ciri-ciri paling khas dari kehidupan modern – individu yang otonom dengan perhatiannya pada kebebasan dan privasi, pertumbuhan kekayaan dan arus penemuan serta inovasi, mesin pemerintahan yang serentak sangat diperlukan bagi kehidupan sipil dan merupakan ancaman terhadapnya – dan pandangan intelektualnya merupakan suatu pemandangan yang dapat muncul hanya dalam kepenuhannya dalam masyarakat pasca-tradisional Eropa setelah runtuhnya Kekristenan abad pertengahan. (John Gray).

Para filosof, sosiolog, dan ekonom abad ke-18 dan awal abad ke-19 merumuskan sebuah program politik yang berfungsi sebagai panduan bagi kebijakan sosial pertama-tama di Inggris dan Amerika Serikat, dan kemudian di benua Eropa, dan akhirnya juga di wilayah-wilayah dunia yang lain. Program ini sebelumnya tak pernah dijalankan secara penuh di mana pun. Bahkan di Inggris, yang disebut sebagai kampung halaman liberalism dan model negara liberal, para pendukung kebijakan liberal tidak pernah berhasil mendapatkan semua tuntutan mereka. Di wilayah-wilayah dunia yang lain, hanya sebagian program liberal tersebut yang dijalankan, sementara bagian yang lain, yang tak kalah penting, ditolak sejak awal atau dibuang setelah beberapa waktu yang singkat. Hanya dengan suatu pelebih-lebihan seseorang bisa berkata bahwa dunia pernah mengalami suatu era liberal. Liberalism tidak pernah diizinka untuk berjalan sepenuhnya. Namun, meski supremasi gagasan-gagasan liberal tersebut singkat dan sangat terbatas, hal itu cukup mampu mengubah wajah dunia. Suatu pertumbuhan ekonomi yang luar biasa terjadi. Terbukanya kekuatan produktif manusia sangat melipatgandakan sarana-sarana untuk bertahan hidup. (Ludwig von Mises)

  1. 2.      Beberapa Tesis Liberalisme

Karl R. Popper mengemukakan beberapa 8 tesis tentang liberalisme tersebut:

1)      Negara adalah suatu kejahatan yang tak terhindarkan: kekuasaannya tidak boleh dilipatgandakan melebihi apa yang diperlukan.

2)      Perbedaan antara sebuah demokrasi dan sebuah tirani adalah bahwa di dalam sebuah demokrasi pemerintah dapat ditumbangkan tanpa pertumpahan darah; dalam sebuah tirani tidak bisa.

3)      Demokrasi itu sendiri tidak dapat memberikan keuntungan kepada warga negara dan memang seharusnya tidak diharapkan demikian. Demokrasi hanya menyediakan sebuah kerangka yang di dalamnya warga negara mungkin bertindak dalam suatu cara yang kurang lebih teroganisir dan koheren.

4)      Kita adalah democrat, bukan karena mayoritas selalu benar, melainkan karena tradisi demokratis merupakan tradisi yang keburukannya kita ketahui paling sedikit.

5)      Lembaga saja tidak pernah memadai jika tidak ditopang oleh tradisi. Lembaga selalu ambivalen dalam pengertian bahwa, dengan tidak adanya sebuah tradisi yang kuat, lembaga-lembaga tersebut mungkin juga melayani tujuan yang berlawanan dari yang dimaksudkan.

6)      Sebuah utopia liberal – yakni, sebuah negara yang didesain secara rasional berdasarkan suatu tabula rasa tanpa-tradisi – merupakan suatu kemustahilan. Karena prinsip liberal menuntut bahwa pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan tiap-tiap orang yang diharuskan oleh kehidupan sosial hendaknya diminimalisir dan disamakan sejauh mungkin.

7)      Prinsip-prinsip Liberalisme mungkin digambarkan sebagai prinsip-prinsip penilaian, dan jika perlu prombakan atau pengubahan, atas lembaga-lembaga yang ada, ketimbang menggantikan lembaga-lembaga yang ada. Liberalisme lebih merupakan suatu keyakinan evolusioner ketimbang revolusioner (kecuali jika ia dihadapkan dengan sebuah rezim tiranis).

8)      Di antara berbagai tradisi tersebut, yang harus kita anggap penting adalah apa yang mungkin bisa kita sebut “kerangka moral” ( yang berhubungan dengan “kerangka legal” kelembagaan) sebuah masyarakat. Hal ini mencakup pengertian tradisional masyarakat tentang keadilan atau fairness, atau derajat sensivitas moral yang telah dicapainya. Kerangka moral ini berfungsi sebagai dasar yang memungkinkannya mencapai suatu kompromi yang fair atau adil di antara berbagai kepentingan yang bertentangan di saat kompromi demikian diperlukan. (Karl R. Popper)

 

  1. 3.      Tujuan Liberalisme

Kesejahteran materiil

Tujuan liberalism adalah pemajuan kesejahteraan materiil dan duniawi manusia, dan tidak secara langsung menyoroti kebutuhan-kebutuhan spiritual dan metafisik manusia. Liberalism tidak menjanjikan pada manusia kebahagiaan dan kepuasan, melainkan hanya pemuasan paling besar atas semua hasrat yang bisa dipuaskan oleh hal-hal materiil dan duniawi.

Sebuah masyarakat di mana prinsip-pinsip lieberal dijalanan biasanya disebut sebuah masyarakat kapitalis, dan kondisi masyarakat tersebut, kapitalisme. Karena kebijakan ekonomi liberalism di mana-mana tidak begitu sempurna dalam praktiknya, kondisi-kndisi yang ada di dunia sekarang ini memberi kita gagasan yang tidak sempurna tentang makna dan kemungkinan pencapaian kapitalisme dalam bentuk penuhnya. Meskipun demikian, orang juga bisa dibenarkan jika menyebut zaman kita zaman kapitalisme, karena semua hal yang menciptakan kekayaan masa kita dapat dilacak kembali ke lembaga-kembaga kapitalis. Terima kasih kepada gagasan-gagasan liberal yang masih tetap hidup dalam masyarakat kita, pada apa yang tetap bertahan dalam sistem kapitalis, sejumlah besar orang masa kita dapat menikmati suatu standar hiduup jauh di atas standar hidup yang beberapa generasi lalu hanya mungkin dinikmati oleh orang-orang kaya dan istimewa. (Ludwing von Mises)

Tujuan manusia

Tujuan sejati manusia, atau tujuan yang dinyatakan oleh prinsip-prinsip akal-budi yang abadi dan tak berubah, dan bukan yang dinyatakan oleh hawa-nafsu yang samar dan sementara, adalah perkembangan tertinggi dan harmonis dari kemampuan-kemampuannya menuju suatu keutuhan yang penuh dan konsisten. Kebebasan adalah syarat pertama dan yang wajib bagi kemungkinan perkembangan tersebut; namun ada hal penting lain yang sangat terkait dengan kebebasan, dan itu adalah keberagaman keadaan. Bahkan manusia-manusia yang paing bebas dan mandiri terhalangi dalam perkembangannya, ketika ditempatkan dalam suatu keadaan yang monoton. Namun, di satu sisi, jelas bahwa keberagaman meruapakan sesuatu yang terus dihasilkan oleh kebebasan, dan di sisi lain, bahwa terdapat suatu jenis penindasan yang, tanpa membebankan kekangan-kekangan pada manusia itu sendiri, menghasilkan suatu kesan khas pada keadaan-keadaan sekeliling.

Kedua syarat ini, yakni kebebasan dan keberagaman keadaan, mungkin dilihat, dalam pengertian tertentu, sebagai satu dan sama. Namun mungkin akan menjadi lebih jelas jika kita memperlihatkan perbedaan di antara keduanya. Setiap manusia bisa bertindak hanya dengan satu kemampuan dominan pada satu waktu; atau lebih tepatnya, keseluruhan watak kita menentukan kita pada suatu waktu tertentu ke arah suatu bentuuk aktivitas spontan tertentu. Karena itu, hal ini tampaknya berarti bahwa manusia jelas ditakdirkan kea rah suatu perkembangan parsial, Karena ia hanya memperlemah energi-energinya dengan mengarahkan mereka pada suatu keberagaman obyek. Namun manusia dengan kekuatannya bisa menghindari kesatu-sisian ini, yakni dengan berusaha untuk menyatukan kemampuan-kemampuan dirinya yang khas dan secara umum dijalankan terpisah, dengan membawa ke dalam suatu kerjasama spontan, pada masing-masing periode kehidupannya, percikan-percikan yang hampir mati dari satu aktivitas, dan percikan-percikan yang akan dihidupkan oleh masa depan, dan berusaha untuk meningkatkan dan memberagamkan kekuatan-kekuatan yang dengannya ia bekerja, dengan memadukan mereka secara harmonis, ketimbang mencari keberagaman obyek belaka untuk dijalankan secara tepisah.

Negara memiliki tujuan untuk meningkatkan kebahagiaan atau semata-mata mencegah kejahatan. Tujuan Negara untuk menaikkan kesejahteraan positif suatu bangsa, perhatian bagi semua populasi suatu negara dan subsistensi para penghuninya, dan mengatasi atau mencegah penghacuran alam, atau dengan kata lain, institusi politik dirancang untuk memelihara atau meningkatkan kesejahteraan fisik suatu bangsa.

Keberagaman yang muncul dari penyatuan sejumla individu adalah kebaikan tertinggi yang dapat diberikan kehidupan sosial, dan keberagaman ini jelas lenyap sesuai dengan tingkat campur tangan Negara. Dalam sistem seperti itu, kita tidak memiliki anggota-anggota individual dari sebuah bangsa yang hidup bersatu dalam kelompok-kelompok dengan suatu kesepakatan sipil; melankan subyek-subyek terasing yang hidup dalam suatu hubungan dengan Negara, atau tepatnya dengan semangat yang berlaku dalam pemerintahannya – suatu hubungan di mana dominasi yang berlebihan dari Negara telah cenderung membelenggu permainan bebas energi-energi individu. Negara menginginkan kenyamanan, kemudahan, kedamaian; dan semua ini paling cepat terjadi saat tidak ada benturan di antara individualitas-individualitas. Namun apa yang manusia lakukan dan inginkan adalah sesuatu yang sangat berbeda – itu adalah keberagaman dan keaktifan. (Wilhelm von Humboldt).

  1. 4.      Wujud Liberalisme

Liberalisme dapat mewujud dalam berbagai bentuk, antara lain seruan untuk toleransi, hak-hak rakyat, pasar dan individu, kebebasan dan persaingan, prinsip pembaharuan, kebebasan dan pendidikan, kepentingan-diri dan keadilan, fiksi tentang keadilan.

Seruan untuk toleransi

Bagi saya (John Locke) tatanan bangsa ini adalah sebuah masyarakat manusia yang terbentuk hanya untuk mendapatkan, memelihara, dan memajukan kepentingan-kepentingan sipilnya sendiri. Kepentingan sipil yang dimaksud oleh Locke adalah hidup, kebebasan, kesehatan, dan kenikmatan badani; dan kepemilikan atas berbagai hal yang terlihat, seperti uang, tanah, rumah, perlengkapan, dan sejenisnya. Kewajiban hakim sipil, dengan melaksanakan hukum secara setara dan tak memihak, adalah melindungi hak rakyat pada umumnya dan setiap wrga khususnya untuk secara adil memenuhi keinginan mereka memiliki hal-hal itu dalam kehidupan ini. Barangsiapa berniat melanggar undang-undang keadilan dan kesetaraan public ini, yang ditetapkan untuk melindungi hal-hal tersebut, niat tersebut akan urung oleh rasa takut akan ancaman hukuman, yang berupa pencabutan atau pengurangan hak-hak atau kepemilikian sipil tersebut, yang seharusnya bisa ia nikmati. Namun, mengingat tak seorang pun yang bersedia menderita karena dicabut haknya atas sebagian barang-baranggnya, apalagi atas kebebasan atau hidupnya, maka karena itulah sang hakim diberikan oleh wrganya kewenangan dan kekuatan untuk memaksa, untuk menghukum mereka yang melanggar hak-hak orang lain. Jadi, seluruh yurisdiksi hakim mencakup soal-soal sipil ini; dan semua kekuasaan, hak, dan wilayah sipil itu terbatas hanya untuk memajukan kepentingan-kepentingan sipil tersebut; dan ia tidak bisa atau tidak seharusnya diperluas sampai mencakup hal-hal yang terkait dengan keselamatan rohani. Bagi Locke, ada tiga pertimbangan dalam hal ini, yakni pertama, karena pengasuhan rohani tidak dipercayakan pada hakim sipil, pun tidak pada orang lain. Bagi Locke, hal itu tidak diwajibkan Tuhan; karena tampaknya Tuhan tidak pernah memberikan otoritas seperti itu pada satu manusia atas manusia yang lain, seperti memaksa seseorang lain untuk mengikuti agamanya. Kedua, pengasuhan rohani tidak bisa dipercayakan kepada hakim sipil, karena kekuasaannya hanya menyangkut kekuatan yang kasat-mata: namun agama yang sejati dan menyelamatkan mengandung keyakinan pikiran yang bersifat pribadi, yang tanpanya tak ada hal yang bisa diterima Tuhan. Dan itulah sifat-dasar pemahaman, yakni bahwa ia tidak dapat dipaksa untuk meyakini apa pun dengan paksaan/kekuatan fisik. Ketiga, mari kita pikirkan apa kewajiban sang hakim dalam masalah toleransi, yang jelas sangat besr. Kita telah buktikan bahwa pengasuhan rohani bukan merupakah wilayah hakim: wilayah hakim terdiri dari memutuskan dengan hukum, dan memaksa dengan hukuman. Namun hak untuk memberikan pengasuhan yang penuh welas asih melalui pengajaran nasihat, dan bujukan, tidak bisa dicabut dari siapa pun. Karena itu penasuhan rohani seseorang adalah hak dirinya sendiri, dan terserah pada dirinya sendiri. (John Locke)

Hak-hak Rakyat

Presiden Amerika Serikat, Presiden Andrew Jackson (1829-1837), dalam pidato terakhirnya di depan Konggres, meiliki pandangan luar biasa: “Mengandaikan bahwa karena Pemerintah kita dibentuk demi kemaslahatan rakyat, ia karena itu memiliki kekuasaan untuk melakukan apa pun yang mungkin untuk memajukan kemaslahatan public, adalah suatu kesalahan yang menjerumuskan bahkan bagi yang berpikiran lurus sekalipun.” Siapa pun yang mengawasi dengan cermat jalan yang dilalui oleh Pemerintahan Nasional dan Negara Bagian sejak awal pembentukan mereka, kita pikir, yakin sekali bahwa salah satu keburukan praktek yang terbesar dari sistem kita adalah keluaran legislasinya yang begitu berlebihan. Sangat mungkin, jika ketetapan-ketetapan Konggres dan badan pembuat UU Negara bagian disatukan bersama, dalam setahun semua itu berjumlah beberapa ribu. Apakah mungkin bahwa kemaslahatan rakyat AS tersebut harus dirintangi dan diganggu oleh berbagai macam belenggu seperti itu; atau bahwa mereka tidak dapat ditertibkan tanpa UU dan peraturan baru yang dikeluarkan setiap tahun? Setiap hukum yang berlebihan merupakan suatu inovasi yang tak berdasar dan sia-sia atas kebebasan melakukan sesuatu, dan mengurangi Hak-hak Rakyat yang Dilindungi. Apa saja hak-hak itu?

Semua pemerintah pada mulanya dibentuk demi perlindungan orang dan hak-milik; dan rakyat, pada awal pembentukan pemerintah, hanya mendelegasikan kepada para pemimpin mereka kekuasaan-kekuasaan yang sangat diperlukan untuk tujuan-tujuan besar ini. Semua kekuasaan yang tidak didelegasikan dengan demikian tetap dimiliki rakyat, dan bisa disebut hak-hak rakyat yang dilindungi. Dalam mendefinisikan obyek-obyek pemerintahan tersebut, semua penulis setuju bahwa obyek-obyek tersebut adalah obyek-obyek yang telah kita sebutkan, yakni perlindungan hak-hak orang dan hak milik. Apa pun yang diperlukan untuk tujuan ini tetap mereka kuasai. Lindungi diri dan hak milik mereka, dan semua yang lain dapat mereka lakukan sendiri.

Mereka membutuhkan sistem hukum umum yang membuat diri dan hak milik mereka utuh, meski hal itu sama-sama menghalangi mereka melanggar diri dan hak milik orang lain. Untuk mencapai tujuan-tujuan utama ini dalam pembentukan pemerintah, kita tidak perlu memberikan keistimewaan pada satu kelas masyarakat, keistimewaan yang sama-sama dinikmati kelas-kelas lain.

Di antara hak-hak langsung rakyat AS berikan kepada diri mereka sendiri adalah hak-hak yang penuh dan setara. Hak ini inheren pada setiap orang, dan ketika tidak secara langsung diserahkan, hak ini dapat dipastikan tetap ada dalam kekuasaan mereka. Namun menyangkut rakyat AS, hak ini tidak hanya dilindungi secara diam-diam, namun juga dijamin, dan ditegaskan, dan diakui dalam konstitusi pemerintah nasional kita, serta dalam konstitusi negara-negara bagian, sebagai prinsip fundamental besar bagi mereka. Satu-satunya kasus di mana rakyat AS mendelegasikan kepada para wakil mereka hak campur tangan dalam urusan dan usaha pribadi mereka adalah menyangkut perdagangan. (William Leggett)

Pasar dan Individu

Produk industry adalah apa yang ia tambahkan pada subyek atau materi yang dikerjakannya. Seiring dengan nilai produk ini besar atau kecil, demikian juga keuntungan si pemilik. Namun hanya demi keuntungan seseorang mengeluarkan modal untuk menopang indsutri; dan karena itu, ia akan selalu berusaha mengeluarkannya untuk menopang industry yang roduknya sangat mungkin memiliki nilai terbesar, atau menukarkannya untuk kuantitas teresar, entah itu berupa uang atau barang-barang lain. Namun penerimaan tahunan setiap masyarakat selalu tepat sama dengan nilai yang dapat-ditukar dari keseluruhan produk tahunan industrinya, atau lebih tepatnya sesuatu yang tepat sama dengan nilai yang dapat-dipertukarkan tersebut. Dengan demikian, karena setiap individu berusaha sekeras yang ia bisa untuk memanfaatkan modalnya untuk mendukung industry domestik, dan untuk mengelola industry yang produknya mungkin memiliki nilai terbesar; setiap individu niscaya bekerja keras untuk menjadikan penerimaan tahunan masyarakat tersebut sebesar yang ia bisa.

Setiap manusia, sepanjang ia tidak melanggar hukum-hukum keadilan, sepenuhnya bebas untuk mengejar kepentingannya sendiri dengan caranya sendiri, dan membawa baik industry dan modalnya ke dalam persaingan dengan industry dan modal manusia atau kumpulan manusia, yang lain. Penguasa sepenuhnya lepas dari kewajiban, yang ketika menjalankannya ia dapat dipastikan selalu rentan terhadap berbagai macam delusi, dan yang mana tidak ada kebijaksanaan atau pengetahan manusia yang memadai untuk menjalankannya dengan baik; kewajiban mengawasi industry orang-orang biasa, dan mengarahkannya kea rah pekerjaan-pekerjaan yang paling cocok dengan kepentingan masyarakat.

Menurut sistem kebebasan alamiah, sang penguasa hanya memiliki tiga kewajian untuk dijalankan; tiga kewajiban yang memang sangat penting, namun berat dan dapat dimengerti pemahaman umum: pertama, kewajiban melindungi masyarakat dari kekerasan dan invasi masyarakat-masyarakat independen yang lain; kedua, kewajiban melindungi, sejauh mungkin, setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan dari anggota-anggota lain, atau kewajiban untuk membentuk administrasi keadilan yang pasti; dan ketiga, kewajiban untuk menciptakan dan memelihara pekerjaan-pekerjaan public tertentu dan lembaga-lembaga public tertentu, di mana penciptaan dan pemeliharaannya bukan kepentingan individu tertentu, atau sejumlah kecil individu tertentu; karena keuntungan tidak pernah menebus biaya yang dikeluarkan individu atau sejumlah individu tertentu, meskipun keuntungan tersebut seringkali bermanfaat bagi suatu masyarakat besar ketimbang ongkos yang dikeluarkannya. (Adam Smith)

Kebebasan sebagai persaingan

Pertanyaan yang muncul adalahapakah persaingan cenderung mengarah pada kebahagiaan atau penderitaan umat manusia – sebuah pertanyaan yang sama dengan ini: apakah manusia secara alamiah memiliki kecenderungan ke arah kemajuan atau ditakdirkan menuju dekadensi?

Pertanyaan ini yang dijawab oleh Bastiat. Bastiat mengatakan bahwa persaingan, yang memang dapat kita sebut kebebasan – terlepas dari ketidaksukaan yang dimunculkannya dan kemarahan yang ditujukan padanya – pada dasarnya merupakan hukum demokrasi. Ia adalah hukum yang paling progresif, paling egalitarian, dan secara universal paling menyetarakan dari semua hukum, yang terhadapnya Takdir telah mempercayakan kemajuan masyarakat manusia. Hukum persaingan inilah yang menghadirkan dalam jangkauan bersama satu demi satu kenikmatan dari semua keuntungan yang tampaknya telah dianugerahkan Alam secara Cuma-Cuma ada negeri-negeri tertentu saja. hukum ini jualah yang menghadirkan dalam jangkauan umum semua penaklukan Alam yang telah diraih oleh orang-orang jenius di setiap abad sebagai suatu warisan bagi generasi-generasi berikutnya, dan yang apa yang masih perlu dilakukan hanyalah kerja tambahan yagn mereka pertukarkan tanpa saling membyar, seperti mereka inginkan, untuk kerjasama menyangkut sumber-sumber daya alam.

Kepentingan diri adalah kekuatan individualistic yang susah-dikekang dalam diri kita yang mendorong kita ke arah kemajuan dan penemuan, namun pada saat yang sama mendorong kita untuuk memonopoli penemuan-penemuan kita. persaingan adalah kekuatan manusiawi yang tak kalah susah-dikekang yang merebut kemajuan, secepat kemajuan itu terjadi, dari tangan individu tertentu dan membuatnya tersedia bagi semua manusia. Kedua kekuatan ini, yang mungkin disesalkan jika dilihat secara terpisah, bekerja bersama menciptakan harmoni sosial kita. Dan kita bisa tambahkan, tidak mengejutkan bahwa individualisme, sebagaimana terungkap dalam kepentingan-diri seorang manusia saat ia adalah seorang produsen, selalu memberontak terhadap gagasan tentang persaingan, mencelanya, dan berusaha menghancurkannya, dan memita bantuan paksaan, tipu-muslihat, privilese, penipuan, monopoli, kekangan, kontrol pemerintah, dll. Imoralitas sarana-saranya cukup jelas menyingkap imoralitas tujuannya. Namun hal yang mencengangkan, dan patut disayangkan, adalah bahwa ekonomi politik – yakni ekonomi politik palsu – yang disebarluaskan dengan begitu bersemangat oleh aliran-aliran sosialis, telah, atas nama cinta kemanusiaan, dan persaudaraan, mendukung semangat perjuangan individualisme dalam bentuknya yang paling sempit dan mengabaikan semangat perjuangan kemanusiaan. (Frederic Bastiat).

Prinsip pembaruan

Jika masyarakat sipil dibentuk untuk kepentingan manusia, semua keuntungan yang muncul dari pembentukan tersebut menjadi haknya. Ia adalah sebuah institusi kedermawanan; dan hukum itu sendiri hanya tindakan kedermawanan melalui sebuah peaturan. Manusia memiiki hak untuk hidup dengan peraturan itu; mereka memiliki suatu hak untuk berbuat keadilan di antara sesama mereka, apakah sesama mereka tersebut dalam jabatan public atau dalam pekerjaan biasa. Mereka memiliki hak atas hasil-hasil industry mereka; dan atas sarana-sarana untuk menjadikan industri mereka berhasil. Mereka memiliki hak atas perolehan-perolehan orangtua mereka; atas makanan dan perkembangan keturunan mereka; atas pengajaran dalam hidup, dan atas kenyamanan dalam kematian. Apa pun yang tiap-tiap manusia bisa lakukan sendiri, tanpa melanggar orang lain, ia memiliki hak melakukannya untuk dirinya sendiri; dan ia memiliki hak atas suatu bagian yang adil dari semua hal yagn bisa dilakukan masyarakat untuknya – dengan semua gabungan ketrampilan dan kekuatannya. Dalam hubungan ini semua manusia memiliki hak-hak yang sama; namun tidak hal-hal yang sama.

Pada saat anda mengurangi apa pun dari hak-hak penuh manusia tersebut, masing-masing untuk mengatur dirinya sendiri, dan mendedahkan pembatasan positif pada hak-hak tersebut maka pada saat itu keseluruhan organisasi pemerintahan menjadi satu sarana kenyamanan. Inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah negara, dan distribusi yang tepat atas kekuasaan-kekuasaannya, suatu persoalan yang menuntut keahlian yang paling pelik dan sulit. Hal ini memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang watak manusia dan kebutuhan-kebutuhan manusia, dan tentan hal-hal yang mempermudah atau merintangi berbagai macam tujuan tersebut, yang akan dijalankan dengan mekanisme lembaga-lembaga sipil. Negara tersebut memiliki para anggota yang memperkuatnya, dan obat bagi penyakit-penyakitnya. (Edmund Burke)

Kebebasan dan pendidikan

Seorang manusia harus bebas melakukan sesuatu sebagaimana ia suka dalam urusan-urusannya sendiri; namun ia tidak bebas melakukan sesuatu sesukanya dalam bertindak untuk orang lain, dengan dalih bahwa persoalan-persoalan orang lain tersebut meruapan persoalan-persoalannya sendiri. Negara, meski menghormati kebebasan tiap-tiap orang dalam masalah yang khusus berkenaan dengan dirinya sendiri, harus memelihara kontrol yang cermat atas penggunaan kekuatan orang tersebut, yang ia perbolehkan orang itu miliki, terhadap orang lain. Kewajiban ini hampir sepenuhnya leyap dalam kasus hubungan-hubungan keluarga, teristimewa dalam kaitannya dengan anak-anak. Dalam kasus anak-anaklah gagasan-gagasan tentang kebebasan yang salah-diterapkan menjadi masalah riil bagi pemenuhan kewajiban-kewajiban Negara. Orang hampir dapat dipastikan berpikir bahwa anak seseorang dianggap secara harafiah sebagai bagian dari dirinya sendiri, sehingga muncul opini yang begitu kuat tentang campur-tangan hukum paling kecil atas kontrolnya yang absolute dan eksklusif atas anak-anak tersebut; lebih kuat ketimbang setiap campur-tangan atas kebebasan bertindaknya sendiri: demikianlah umumnya manusia lebih menghargai kebebasan ketimbang kekuatan. Misalnya, kasus pendidikan. Aksioma yang jelas adalah bahwa Negara harus mewajibkan dan mendorong pendidikan – sampai standar tertentu – bagi setiap warganya. Orangtua pun memiliki kewajiban ini. Apabila orangtua tidak memenuhi kewajiban ini, Negara harus memastikan hal ini terpenuhi, dengan biaya, sejauh mungkin, dari orangtua tersebut. (John Stuart Mill).

Kepentingan-diri dan Keadilan

David Hume telah mengisyaratkan bahwa pengertian tentang setiap jenis kebajikan adalah tidak alamiah, namun ada beberapa kebajikan yang menghadilkan kesenangan dan persetujuan dengan sarana kelicikan atau rencana-palsu (contrivance), yang muncul dari keadaan dan keniscayaan umat manusia. Hume menegaskan bahwa dari jenis inilah keadilan itu. Ketika kita memuji suatu tindakan, kita hanya melihat motif-motif yang menghasilkannya, dan mengganggap tindakan tersebut sebagai tanda atau petunjuk tentang prinsip-prinsip tertentu dalam pikiran dan watak. Penampilan eksternal tak ada artinya. Kita harus melihat ke dalam untuk menemukan kualitas moral tersebut. Hal ini tidak dapat kita lakukan secara langsung; dan karena itu atur perhatian kita pada tindakan sebagaimana pada tanda-tanda eksternal. Namun tindakan-tindakan ini masih dianggap sebagai tanda-tanda, dan obyek terakhir dari pujian dan persetujuan kita adalah motif yang menghasilkannya.

Fiksi tentang keadilan sosial

Menyingkap makna dari apa yang disebut ‘keadilan sosial’ adalah salah satu fokus perhatian utama von Hayek selama lebih dari 10 tahun. Von Hayek telah mencapai kesimpulan bahwa, dengan rujukan ke suatu masyarakat manusia bebas, frase tersebut tidak memiliki makna apa pun. Meskipun demikian, pencarian akan alasan mengapa kata itu selama kurang lebih satu abad mendominasi diskusi politik, dan di mana-mana berhasil digunakan untuk menopang klaim-klaim kelompok-kelompok tertentu atas bagian yang lebih besar dari hal-hal yang baik dalam hidup, tetap merupakan sesuatu yang sangat menarik? Persoalan inilah yang terutama dicermati oleh van Hayek.

Bagi van Hayek, konsep ‘keadilan sosial’ yang digunakan oleh para intelektual, justru bermasalah secara intelektual. Istilah ‘keadilan sosial’ sekarang ini umum digunakan sebagai sinonim dari apa yang biasanya disebut ‘keadilan distributif’. Istilah yang terakhir ini mungkin memberikan suatu gagasan yang agak lebih baik dari apa yang dimaksudkan olehnya, dan pada saat yagn sama memperlihatkan mengapa ia tidak dapat diterapkan pada hasil-hasil dari sebuah ekonomi pasar: tidak mungkin ada keadilan distributive ketika tak seorang pun melakukan distribusi.

Kekosongan mutlak frase ‘keadilan sosial’ terlihat dalam kenyataan bahwa tidak ada kespakatan yang muncul menyangkut apa yang diperlukan keadilan sosial dalam keadaan-keadaan tertentu; juga bahwa tidak ada ujian yang diketahui yang dapat dipakai untuk memutuskan siapa yang benar jika orang-orang berbeda, dan bahwa tidak ada skema distribusi pasti yang dapat dipikirkan secara efektif dalam sebuah masyarakat yang individu-individunya bebas, dalam pengertian diperbolehkan untuk menggunakan pengetahuannya sendiri demi tujuan mereka sendiri. Memang, ada tanggung jawab moral individual atas tindakan-tindakan seseorang tidak sesuai dengan pewujudan suatu pola distribusi menyeluruh yang diinginkan tersebut. Sebuah penyelidikan kecil memperlihatkan bahwa, meski begitu banyak orang tak puas dengan pola distribusi yang ada, tak satu pun dari mereka yang benar-benar memiliki gagasan yang jelas tentang pola apa yang ia anggap sebagai adil. Tak seorang pun yang telah menemukan suatu aturan umum yang darinya kita dapat memutuskan apa yang ‘secara sosial adil’ dalam semua keadaan tertentu yang tercakup di dalamnya – kecuali aturan ‘bayaran setara untuk kerja yang setara’. Persaingan bebas, yang menjadi dasar tuntutan-tuntutan akan keadilan sosial, cenderung menerapkan aturan pembayaran yang setara tersebut. Alasan mengapa sebagian besar orang terus menerus secara kuat meyakini ‘keadilan sosial’ adalah karena mereka berpikir bahwa jika hampir setiap orang yang lain meyakininya, pasti ada sesuatu dalam frase tersebut. Dasar bagi penerimaan yang hampir universal atas keyakinan ini adalah bahwa kita semua mewarisi dari suatu jenis masyarakat berbeda yang ada sebelumnya.

  1. 5.      Para penentang liberalisme

Liberalisme memiliki tradisi intelektual yang kuat. Namun, bukan berarti tanpa kritik bahkan pertentangan. Para penentang terutama berasal dari para pemikir sosial maupun konservatif. Baik para pemikir sosialis maupun konservatif mengemukakan berbagai kritik yang jitu terhadap pandangan liberal dan masyarakat liberal yang dapat dipahami dan dikaji hanya dalam konteks historis di mana ketiga tradisi tersebut lahir. Kaum konservatif kadang mencemooh perenungan teoretis atas kehidupan politik, dan menyarankan bahwa pengetahuan politik terutama adalah pengetahuan praktis tentang suatu kelas berkuasa dalam kaitannya dengan bagaimana berbagai persoalan negara dijalankan – suatu bentuk pengetahuan yang paling baik dibiarkan saja dan tak disimpangkan oleh pensistematisasian rasionalis. Bagi pemikiran konservatif, hubungan-hubungan dan otoritas merupakan aspek-aspek dari bentuk alamiah kehidupan sosial, yang tidak mungkin dijelaskan dalam bentuk liberal melalui suatu kontrak di antara individu-individu, apalagi rujukan pada keyakinan-keyakinan moral yang mencirikan gerakan-gerakan sosialis. Konservatisme Inggris abad ke-19 menelurkan sebuah aliran penafsiran historis dan kritik sosial, yang menggambarkan industrialism sebagai sebagai sesuatu yang menyebabkan runtuhnya standar kehidupan umum dan mengguncang hubungan hierarki lama di mana penguasa mengakui kewajiban terhadap masyarakat umum.

Dalam banyak hal pemikiran sosialis menggemakan suara-suara konservatif dalam meratapi pudarnya adat-kebiasaan lama yang disebabkan oleh perdagangan dan industri. Kaum sosialis sebagian besar adalah orang-orang yang optimis menyangkut konsekuensi sosial dari industrialism dan melihat keberlimpahan yang dimungkinkan oleh industry sebagai syarat kemjuan yang diperlukan untuk menuju suatu masyarakat egalitarian tanpa kelas. Namun, kaum sosial sebagian besar menolak individualisme abstrak yang mereka temukan dalam pemikiran liberal dan menolak gagasan-gagasan liberal tentang masyarakat sipil dan lebih mendukung konsepsi-konsepsi tentang komunitas moral. (John Gray).

Membaca Wajah-wajah Kebudayaan (Buku)

Buku: Membaca Wajah-wajah Kebudayaan

Penulis: Mudji Sutrisno, SJ

Sebuah Resensi

 

Pendahuluan

Prof. Dr. FX. Mudji Sutrisno, SJ adalah seorang rohaniwan Katolik dan sekaligus budayawan yang memberikan perhatian penuh dalam bidang kebudayaan di Indonesia. Pemikiran-pemikiran kritisnya memberikan pencerahan kepada sekian banyak orang dalam keanekaragamannya. Beberapa buku telah ditulis sebagai sumbangan pemikiran dan alternatif bagi pembangunan bangsa yang lebih manusiawi dan sejahtera. Buku Membaca Wajah-wajah Kebudayaan adalah buku terbaru yang mau mengajak setiap pembaca untuk merefleksikan lebih dalam tentang kebudayaan keindonesiaan saat ini. Harapan beliau, “Semoga Kerja Membaca merupakan kerja menghidupi kata demi kata hingga bermakna” sungguh menggugah untuk dijadikan pegangan dalam membaca buku ini.

 

Isi Buku

  1. 1.      Membaca Kebudayaan dan Menafsir

Membaca kebudayaan dalam keindonesiaan tidak berarti merumuskan secara rapi semua tumpukan seminar tertulis mengenai keindonesiaan. Sejatinya, membaca kebudayaan keindonesiaan adalah pengolahan dan pembacaan yang cerdas mengenai budaya bhineka tunggal ika-nya Indonesia. Itu berarti kemenangan yang memberi nilai sejahtera bagi Indonesia harus dengan kejawaan yang memberi kontribusi niainya untuk Indonesia; kekristenan dan kekatolikan yang menyumbang proses humanisasi untuk keindonesiaan harus bertemu dalam dialog-dialog panjang dengan keislaman yang merahmati Indonesia. Begitu pula kehinduan, kebudhaan, kepercayaan asli nusantara dengan penyusun cultural keindonesiaan lainnya harus membaca ‘pekerjaan rumah’ peradaban Indonesia yang sejahtera, adil dan beradab lantaran hidup bersama disyukuri dari kekayaan dan bukan diserakahi dalam rebutan saling mencabik yang akan menenggelamkan Indonesia.

Dengan demikian, membaca merupakan kerja menafsir (Gadamer, Truth and Methods, 1980). Si penafsir harus mampu menangkap makna asali dari teks yang ditulis oleh pengarang. Karena itu, penafsir harus mencermati eksistensi makna, yakni makna yang dihurufkan oleh pengarang dari peristiwa kehidupan atau pengalaman hidupnya yang diwujudi dalam aksara, membandingkan dengan teks-teks di sekitar tema serupa (penafsir antarteks), dan kerendahan hati penafsir untuk terbuka pada makna teks sehingga saling dibuahi menemukan “makna baru” dalam peleburan cakrawala (fusion of horizon).

  1. 2.      Menafsir dan kebenaran

Meskipun demikian, kerja menafsir bukanlah hal yang mudah. Penafsir dapat saja cenderung untuk menaruh dikotomi antara yang bagian berhadapan dengan yang keseluruhan. Ketika penafsir memutlakkan pendapatnya hanya pada bagian tertentu mewakili keseluruhan, maka yang terjadi adalah ujaran pars pro toto (bagian dipakai untuk mengungkap keseluruhan). Sementara itu bila penafsir menafsirkan keseluruhan demi bagian, maka ia memperlakukan generalisasi sama dengan dampak negatif yang sama yaitu logika “totum (keseluruhan) pro (untuk menuding) parte (bagian)”. Logika tafsir yang benar adalah memandang dalam bagian sekaligus adalah keseluruhan dan keseluruhan meliputi bagian-bagian. Cara menafsir dengan membedakan diri dari mana posisi cara pandang kita dan diletakkan antara part (bagian) dan the wholeness (keseluruhan) akan memperjuangkan sekaligus menemukan jalan keluar dari kebuntuan pemutlakan pendapat. Agar menghindari pemutlakan penafsiran, maka tafsiran perlu diverifikasi terus-menerus melalui mata budi. Dan bila masuk dalam penafsiran metafisis (menafsir ilham, teologi, Allah atau pengalaman-pengalaman spiritual), maka penafsiran dengan mata budi menemui batasnya dan harus melangkah ke penafsiran dengan mata batin (mata jiwa).

Pertanyaan yang muncul adalah apa ukuran kebenaran suatu tafsiran kebudayaan? Kebenaran dapat diukur secara subyektif berdasarkan selera, pendapat pribadi. Wilayahnya adalah rasa. Kebenaran juga dapat diukur secara obyektif yang menguji kesesuaian antara yang diketahui dengan kenyataan. Ukuran kebenaran yang lain adalah bila sesuatu itu bermanfaat (utilitarian). Dalam masyarakat pluralis, kebenaran dapat diukur melalui bingkai pemikiran ini: kebenaran diukur dari tata simbolik dan tata kalimat pengguna bahasa; ukuran kebenaran dari hasil kesepakatan yang didialogkan bebas dan terbuka; dan kebenaran diukur dari kepastian hukum dan keadilan. Kebenaran yang paling dihayati oleh ragam agama dan peradaban sesungguhnya menemukan kesamaan ukuran karena bersumber dari kehidupan yang sama, yaitu bila kehidupan itu dipermuliakan.

  1. 3.      Membaca Kebudayaan dan Multikulturalisme – Mengolah Budaya

Dalam konteks keindonesiaan, membaca kebudayaan dapat diterapkan dalam membaca kehidupan budaya lisan dan tulisan, budaya bangunan bersejarah, budaya wayang dalam falsafah Jawa, membaca sejarah bangsa dalam waktu, membaca wacana revolusi kemerdekaan, sampai pada membaca budaya dalam bentuk film (misalnya Film Garin Nugroho: Rindu Kami pada-Mu Yang Ilahi di Pasar Kehidupan).

Membaca budaya keindonesiaan seharusnya diletakkan dalam konteks kemajemukan keindonesiaan yang nyata dalam berkembangnya kerarifan lokal (lokalitas) menjadi satu bangsa (nasionalitas), kemajemukan agamis, suku dan entitas kultural lain menuju globalitas.

Dalam konteks ini, maka mengolah kebudayaan mensyaratkan empat hal. Pertama, perlunya studi-studi keragaman kekayaan lokalitas yang telah terdokumentasi di pusat-pusat studi etnik ataupun kearifan-kearifan budaya lokal dengan bingkai penafsiran yang sudah dirumuskan dengan cerdas oleh para pendiri bangsa dalam alinea keempat Konstitusi 1945. Kedua, perlu membaca studi mentalitas inlander dan kuli postkolonial – membaca konstruksi-konstruksi ideologi dan sistem hirarki  yang terjadi di masa prakolonial yang berinteraksi dengan kolonisasi. Ketiga, membaca kebudayaan dengan cara menafsirkannya kolonialisme modern harus dibaca dari kata ‘koloni’ yang secara harafiah berarti daerah pertanian yang kemudian dikuasai oleh pendatang dengan dua konsekuensi: membayar upati dan dekonstruksi ekonomi demi kepentingan negara induk, dan pemaksaan daerah koloni untuk mengkonsumsi produk-produk negara induk. Keempat, membaca kebudayaan dalam tiga ranah (Raymond Williams, The Long Revolution, 1965) – ranah konsep, ranah catatan-catatan dokumentasi (mengenai praksis hidup sebagi teks yang mencatati struktur imajinasi, pengalaman dan pemikiran manusia), dan ranah rumus dan kebudayaan (dalam wujud pandangan jagad tertentu) – kita diajak untuk menafsirkan fenomena film Garin Nugroho sebagai seni pertunjukan modern dan keseharian yang dimaknai sebagai teks kebudayaan.

Membaca karya seni dalam pembahasan mengenai estetika, sampai saat ini secara mencolok berada dalam dua arus, yakni resensi seni yang mamu memberi apresiasi dari dalam serta dari kode yang dipunyai oleh karya seni itu sendiri (intrinsik), dan pendekatan dari luar karya seni melalui disiplin ilmu atau kacamata kode ilmu itu untuk membedah karya tersebut (ekstrinsik). Namun, persoalan yang muncul adalah saling hantam di antara pemikir dari masing-masing arus tersebut. Dan untuk mengembalikan kritik seni ke habitat asalinya yaitu dengan menaruhnya kembali ke naluri purba yang melahirkan, mencintai, dan membuahi kehidupan. Kehidupan yang maha kaya dan multi dimensi logisnya, mempunyai dimensi indahnya atau estetisnya dalam filsafat seni dan kehidupan yang sama mempunyai dimensi estetisnya dalam etika. Konteks budaya tempat tumbuhnya aliran seni selalu dimulai dengan keyakinan atau credo senimannya, yaitu visi berseni untuk peradaban, yang di dalamnya si seniman mengolah pergulatan kreasi seninya untuk memperjuangkan nilai yang diyakininya.

Namun, terkadang pihak yang berkuasa “memplesetkan” estetika ini dalam perilaku estetisasi dengan memperindah tampilannya sembari menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Estetisasi ini jelas merupakan musuh peradaban. Di samping estetisasi, penyimpangan juga terjadi dalam politisasi yang mereduksi dimensi-dimensi kaya dari kehidupan hanya pada satu dimensi, yaitu persaingan kekuasaan untuk meraih kursi, jabatan, dan penguasaan demi kepentingan partai atau golongan. Hal ini bertentangan dengan politik kesejahteraan dan karenanya menjadi musuh bagi peradaban demokratis berbangsa dan bernegara seperti tercantum dalam visi konstitusional alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.

Dalam membaca kebudayaan keindonesiaan yang mengalami sejarah kolonialisasi, ranah tafsiran pascakolonial membuka secara kritis tidak hanya dikotomi tafsiran sejarah besar dan sejarah kecil tetapi konsekuensi penulisan sejarah yang dikritisi dalam terang relasi kekuasaan dari dominasi, hegemoni kerasnya wajah kuasa politik sampai “lembut”nya wajah kuasa budaya. Hal ini tentunya akan memperkaya pemahaman sejarah keragaman bangsa ini terlebih ketika budaya politik multi kultur bisa menjadi budaya multi identitas yang saling menghormati perbedaan untuk keindonesiaan yang sejahtera dan beradab.

Dalam membaca kebudayaan keindonesiaan, kulturalisasi keindonesiaan bukan hanya milik para elit/ahli sejarah melainkan sudah terlebih dahulu dihayati oleh orang-orang sederhana dalam kesehariannya. Karena itu, proses berbudaya dirumuskan sebagai keseharian yang dimaknai oleh pelakunya yang adalah masyarakat dalam keragaman fungsi dan posisi sosialnya. Ada dua proses pembudayaan di sini, yakni proses peradaban ketika pembudayaan mengembangkan nilai saling menghormati antar manusia sebagai yang berharkat serta membentuk keadaban yang berkelanjutan, dan proses humanisasi yang mencipta sistem sosial, sistem hukum, sistem politis dan sistem ekonomi yang semakin manusiawi.

Oleh karena itu, transformasi yang harus terjadi dalam proses humanisasi dan peradaban ini adalah perubahan mentalitas orang-orangnya dari sistem nilai yang dehumanis menuju mentalitas humanis, dan perubahan kondisi struktural dan lingkungan tempat belajar menyerap nilai sebagai ruang kebudayaan, serta komitmen dan kontribusi semua anggota masyarakat untuk memberikan yang terbaik dari posisi sosial, ekonomi, politis dan cultural untuk solidaritas membangsa dalam bernegara.

Maka ketika kita membaca kebudayaan keindonesiaan, kita terpanggil pula untuk merumuskan strategi kebudayaan nasional yang berdasar pada nilainya yang paling hakiki (being bukan having). Butir-butir pemikiran dalam perumusan strategi kebudayaan nasional dapat merujuk pada beberapa pokok, yakni oase pemikiran-pemikiran jangka jauh dari  manifesto politik (Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia 1925, Sumpah Pemuda 1928); ciri cultural dan sosiologis yaitu kemajemukan dalam multi identitas cultural dengan merawat dan memberi ruang hidup organic; dan tradisi-tradisi cultural lokalitas – kearifan-kearifan lokal dalam merawat ekologi alam, hubungan antar sesama dan hubungan dengan Yang Ilahi.

Romo Mudji menunjuk beberapa butir pengolahan budaya dalam membaca kebudayaan lewat membaca karya-karya dari Chairul Harman (Warisan, 1979), Darman Munir (Bako, 1983 dan Dendang, 1990), Wisran Hadi (Orang-orang Blauti, 2000), Gustaf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan, 2000), dan dari kultur Jawa seperti karya dari Arswendo Atmowiloto (Canting, 1986), Ahmad Tohari (Ronggend Dukuh Paruk, 1982), Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), Kuntowijoyo (Pasar, 1994), dan Danarto (Asmaraloka, 1999 dan Setangkai Melati di Sayap Jibril, 2001). Selain membaca karya-karya budaya pengarang di atas, dalam membaca kebudayaan perlu juga melakukan lawatan sejarah, membaca sejarah mentalitas, dan nilai-nilai yang merupakan konstruksi acuan yang berharga mengenai kehidupan: hubungan dengan sesama, alam dan yang ilahi.

Dari karya-karya di atas, Romo Mudji terinspirasi dari tokoh yang dikaguminya, yakni  YB. Mangunwijaya (Romo Mangun) yang mendambakan pendidikan yang kontekstual dan mengakar pada budaya, serta Driyarkara, SJ dengan humanisme barunya: homo homini socius (manusia adalah sahabat bagi manusia lain).

 

Relevansi

Dalam situasi sosial, politik, hukum, ekonomi, dan budaya saat ini yang cenderung menampilkan wajahnya dalam bentuk estetisasi dan politisasi saat ini, kiranya buku Membaca Wajah-wajah Kebudayaan sangat relevan untuk dijadikan bahan refleksi kritis baik bagi para politisi, cendikia, maupun generasi muda. Hal ini penting agar kebudayaan keindonesiaan menemukan wujudnya dalam kehidupan yang manusiawi dengan penghargaan pada martabat dan demi terwujudnya kesejahteraan warga bangsa.

***

 

Catatan Kritis

Secara teknis, buku ini memang perlu direvisi lagi dalam hal pengetikannya. Secara isi, buku ini menantang setiap aktor transformasi budaya untuk melakukan perubahan sistem dan struktur kekuasaan yang seringkali tidak memihak pada kesejahteraan dan martabat kemanusiaan. Bagaimana pintu masuk untuk melakukan perubahan yang radikal dalam mewujudkan kebudayaan keindonesiaan?

Perilaku Menyimpang dan Keserbaduaan Manusia

PERILAKU MENYIMPANG PENUMPANG ATAP KRL DAN KESERBADUAAN MANUSIA

Pendahuluan

Suatu realitas sosial yang menarik untuk disimak adalah perilaku Penumpang Atap Penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Realitas ini diangkat untuk dianalisis berdasarkan beberapa teori yang berkaitan dengan Dinamika Perilaku Manusia. Teori yang diangkat adalah teori dari “keserbaduaan manusia” Emile Durkheim.

  1. 1.      Fenomena Penumpang Atap KRL

Penumpang Atap Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek semakin hari semakin mengkhawatirkan. Perilaku para penumpang ini menjadi suatu pemandangan yang menarik untuk diangkat dalam tulisan ini. Perilaku ini tentunya mengganggu pemandangan umum masyarakat. Banyak pihak, termasuk pemerintah dan para penumpang lainnya telah mengeluhkan perilaku penumpang yang membahayakan keselamatan ini. Gambar di bawah ini ditampilkan untuk menunjuk satu momen dari perilaku menyimpang penumpang atap KRL.[1] Perilaku ini dilakukan baik oleh pribadi maupun oleh kelompok. Bahkan ada kelompok yang membentuk komunitas dengan nama “Komunitas Atapers”.

  1. 2.      Definisi

Perilaku menyimpang diartikan sebagai “perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.”[2] Pengertiann ini sering disebut sebagai penyimpangan sosial. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku menyimpang diartikan sebagai “tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan, yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.”[3]

Dari pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa perilaku para penumpang atap KRL termasuk ke dalam kategori perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang penumpang atap KRL menggambarkan suatu segi perilaku manusia dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat yang menyatu dengan perilakunya. Masyarakat bersifat dinamis. Masyarakat dipandang sebagai proses di mana manusia sendiri mengusahakan kehidupan bersama menurut konsepsinya dan dengan bertanggung jawab atas hasilnya. Masyarakat sebagai proses dapat dilihat dari dua segi yang dalam kenyataan tidak dipisahkan satu dari yang lain karena satu. Pertama, masyarakat dapat ditinjau dari segi anggotanya yang membentuk, mendukung, menunjang, dan meneruskan suatu pola kehidupan besama tertentu yang kita sebut masyarakat atau berusaha mengubahkannya. Kedua, masyarakat dapat ditinjau dari segi pengaruh strukturnya atas anggotanya. Jadi, masyarakat sebagai proses mengandung dua arti sekaligus, yakni individu menegakkan masyarakat dan bertanggung jawab atas keadaannya, dan masyarakat berperan sedemikian di dalam diri individu, hingga eksistensinya sebagai manusia tergantung daripadanya. Individu dan masyarakat saling bergantungan. Oleh karena itu, hidup bermasyarakat merupakan ungkapan kesatuan hakiki antara individu dan masyarakat.[4]

  1. 3.      Keserbaduaan Manusia

Fenomena perilaku penumpang KRL Jabodetabek dapat direfleksikan dari pandangan keserbaduaan manusia. Sosiologi bertolak dari kehidupan manusia yang serentak sosial dan individual. Pandangan sosiologis yang diangkat di sini adalah pandangan dari Emile Durkheim.

Emile Durkheim (1858-1917) dalam bukunya Le dualism de la nature humaine et ses conditions socials (Sifat serba dua kodrat manusia dan kondisinya sosial) menegaskan bahwa masyarakat dan individu tidak merupakan dua wilayah yang terpisah dan berlainan. Pernyataan ini harus diperdamaikan dengan pengalaman eksistensial manusia tentang sifat serba dua yang dialami oleh semua orang. Bagi Durkheim, ada dua unsur konstitutif yang membentuk kodrat manusia, yakni jiwa dan badan.

Durkheim menyebut pengalaman eksistesial manusia ini sebagai homo duplex. Pertanyaannya adalah: apa yang menyebabkan dualitas atau ke-serbadua-an itu? Apa sebabnya manusia merasa diri hidup dalam dua tata sekaligus, yaitu yang satu bersifat biologis, dan yang lain spiritual budaya? Durkheim menjawab bahwa tidak benar BADAN mendasari alam yang pertama, dan JIWA mendasari alam kedua! Bagi Durkheim, bukan jiwa, melainkan masyarakat yang terpisah dari individu, menghasilkan kesan seolah-olah di atas dan di luar individu masih ada alam nilai-nilai yang tidak berakar di dalam dia. Kedua aspek kehidupan manusia memberikan kesan seolah-olah mereka merupakan dua kesatuan yang beridri sendiri-sendiri (dualisme).[5]

Apabila kita melihat perilaku manusia (penumpang atap), yang mengambil keputusan untuk naik ke atap KRL, dapat dikatakan bahwa penumpang tersebut melakukan perbuatan dalam oposisi terhadap banyak orang lain (penumpang di dalam gerbong) yang tidak naik ke atas atap. Dalam dan melalui tindakan naik ke atas atap ini si penumpang mengalami ke-aku-annya yang terpisah dari aku-aku lain. Namun, bersamaan waktu juga, perbuatan si penumpang tadi tidak berasal dari dirinya sendiri. Tindakan naik ke atas atap ini atas cara tertentu dilakukan oleh penumpang yang lain juga. Di samping itu, adanya faktor keterbatasan gerbong kereta – faktor kebijakan publik yang tidak memperhatikan masyarakat pinggiran kota – dan keterbatasan waktu untuk menunggu kereta berikutnya baik untuk pergi bekerja maupun pulang kerja – faktor tuntutan kerja dan keharmonisan keluarga.[6]

Durkheim menarik kesimpulan bahwa individu tidak dipisahkan dari luar oleh masyarakat. Di dalam diri manusia, pengaruh orang lain dan predisposisi individual bertemu dan menjadi satu. Aspek sosial dan aspek individual menjadi ciri hidup manusia. Dari kedua aspek itu, faktor pengaruh masyarakat adalah faktor yang paling penting dalam Sosiologi Durkheim.[7]

Bagi Durkheim, obyek sosiologis adalah perikelakuan sosial. Kelakuan manusia disebut “sosial” kalau enjadi bagian dari suatu sistem sosial dan berorientasi kepada lingkungan si pelaku. Lingkungan itu terdiri dari masa lampau manusia, dan terdiri dari tradisi berupa tata nilai, tata kepercayaan, keterampilan, pola-pola perilaku, dan lain-lain.  Durkheim membedakan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial adalah lingkungan di mana perilaku manusia berlangsung. Sedangkan lingkungan fisik hanya membuat kondisi-kondisi yang sebaiknya diperhitungkan oleh tiap-tiap orang demi keselamatannya. Lingkungan sosial tidak hanya membuat kondisi-kondisi, tetapi juga merumuskan tujuan-tujuan dan norma-norma kelakuan, yang dikenakan kepadanya. Itulah kekhususannya, sehingga realitas sosial oleh Durkheim disebut realitas sui generis atau disebut juga fakta/benda sosial.[8]

Pandangan Durkheim di atas terkesan bahwa ia amat menekankan corak lahir dan wajib dari realitas sosial, melainkan juga corak batinnya. Sehubungan dengan pengaruh-pengaruh sosial, ia mengatakan bahwa pengaruh-pengaruh itu berada baik di luar maupun melalui dan di dalam individu. Sampai di sini, Durkheim tiba pada  pandangannya yang sangat penting dalam Sosiologi, yaitu bahwa unsure-unsur pokok kebudayaan dan struktur sosial DIBATINKAN (internalized) oleh individu dan menjadi bagian kepribadiannya.

Realitas sosial timbul melalui perorangan-perorangan dan hanya melalui mereka. Dari interaksi dan kerja sama ini lahirlah suatu kesadaran kolektif yang melampaui kesadaran-kesadaran individual. Kesadaran ini terdiri dari sejumlah kepercayaan, perasaan, norma, dan tekad yang dibagi bersama. Nilai-nilai  itu dibatinkan dan memaksa individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasa karena proses pembatinan itu – untuk menyesuaikan diri. Setiap kali individu melanggar nilai-nilai dan norma-norma kolektif itu, timbul rasa salah atau ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu mempunyai WEWENANG MORIL (moral authority) yang berperan melalui batin seseorang. Harus dikatakan bahwa nilai-nilai itu serentak mengandung unsur interiority dan unsur exteriority. Mereka bersifat lahiriah sejauh mereka tetapi merupakan bagian obyektif suatu sistem yang melampaui individu. Mereka bersifat batiniah sejauh mereka tak terpisahkan dari kesadaran individual.

Untuk membuktikan adanya kesadaran kolektif di atas, Durkheim mengemukakan tiga argumentasi[9], pertama ada kejadian di mana orang bertindak atas cara yang sebenarnya tidak sesuai dengan pikiran individual mereka. Dalam kaitan dengan penumpang atap KRL dapat dikatakan bahwa ketika penumpang sudah penuh sesak dan tidak ada tambahan gerbong kereta lagi serta tuntutan kedisiplinan kerja, para penumpang yang tidak kebagian tempat di dalam gerbong, memilih untuk naik ke atap KRL.

Kedua, kesadaran kolektif yang berlainan dari kesadaran individual terlihat pula dari tingkah laku grup, yang berlainan dari tingkah laku individu yang sendirian. Dalam konteks penumpang atap, dapat dikatakan bahwa ketika melihat ada banyak penumpang lain yang sama-sama tidak mendapat tempat di dalam gerbong dan naik ke atas atap, maka penumpang tersebut ikut naik ke atas atap.

Ketiga, menurut angka statistic prosentasi gejala sosial seperti menikah, melakukan perbuatan pidana, membunuh diri dan sebagainya, nampaknya mantap, padahal yang kawin atau berbuat nekat ialah individu-individu yang pikiran dan tujuannya tidak mantap. Jadi mesti ada faktor lain lagi di samping kemauan individual, yang melatarbelakangi kestabilan angka statistik. Faktor itu ialah “kesadaran kolektif”. Dalam kasus perilaku penumpang atap, dapat dikatakan bahwa meskipun pihak yang berwajib sudah melarang bahkan memberikan sanksi berulang kali, fenomena penumpang atap tetap marak saja.

Tentang “kesadaran kolektif” ini, Durkheim menjelaskan bahwa kontak dan interaksi orang menghasilkan situasi, di mana pikiran para peserta tembus-menembus dan rembes-merembes. Terjadi suatu konpenetrasi kesadaran-kesadaran individual. Hasilnya adalah kesadaran kolektif yang melebihi jumlah total kesadaran-kesadaran individual, karena pikiran, perasaan, dan perilaku masyarakat berbeda dan berlainan dari pikiran, perasaan, dan perilaku individu-individu.


[3] Ibid.

[4] K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, 1985, Gramedia: Jakarta, hlm. 13-14.

[5] Ibid., hlm. 134-136

[7] K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, hlm. 136.

[8] Ibid., hlm. 142-243.

[9] Ibid., hlm. 143-145.

Kebijakan Sosial dan Pembangunan Masyarakat

KEBIJAKAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DI INDONESIA

Pendahuluan

Kesejahteraan menjadi idaman setiap masyarakat. Apabila kesejahteraan terpenuhi, maka semua aktivitas masyarakat akan berjalan dalam suasana tenang dan damai. Tapi apa yang terjadi di masyarakat Indonesia sekarang? Terjadi gejala-gejala yang menunjuk pada masyarakat pra-sejahtera semakin banyak. Untuk mendorong tercapainya kesejahteraan di Indonesia, perlu intervensi banyak pihak, terutama pemerintah melalui kebijakan-kebijakan publik, dan secara khusus kebijakan sosial.

Tulisan ini pertama-tama melihat makna kebijakan, kebijakan publik, dan kebijakan sosial. Kemudian dilihat relevansi kebijakan sosial bagi pembangunan masyarakat di Indonesia untuk mencapai kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

  1. 1.      Kebijakan, Kebijakan Publik, dan Kebijakan Sosial
  2. a.      Kebijakan

Istilah “kebijakan” berkembang dan memiliki makna tertentu. Sejak periode pasca-Perang Dunia II, istilah “kebijakan” dimengerti sebagai “rationale, sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan.”[1] Dalam pengertian modern, Hogwood dan Gunn (1984:13-19) menyebutkan 10 penggunaan istilah “kebijakan” berdasarkan fungsi kebijakannya, yakni (1) Kebijakan sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas, (2) Kebijakan sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan, (3) Kebijakan sebagai proposal spesifik, (4) Kebijakan sebagai keputusan pemerintah, (5) Kebijakan sebagai otoritas formal, (6) Kebijakan sebagai sebuah program, (7) Kebijakan sebagai output, (8) Kebijakan sebagai “hasil” (outcome), (9) Kebijakan sebagai teori atau model, dan (10) Kebijakan sebagai sebuah proses.[2] Dengan demikian, sebuah kebijakan adalah “usaha untuk mendefinisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan”.[3]

James Midgley dan Michelle Livermore, selaku editor The Handbook of Social Policy, dalam Introduction Social Policy and Social Welfare, merumuskan kebijakan sebagai “arah tindakan yang diadopsi oleh organisasi-organisasi formal.”[4] Dengan memberi tekanan pada arah tindakan, kebijakan berkaitan dengan standarisasi pengambilan pengambilan keputusan untuk meningkatkan efisiensi organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya.

Sementara, Edi Suharto melihat kebijakan berkaitan dengan pemerintahan (government dan governance). Kebijakan dapat diartikan sebagai “keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara”.[5] Dengan demikian, istilah kebijakan berkaitan dengan ranah publik.

  1. b.      Kebijakan Publik

Kebijakan yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh pemerintah disebut sebagai kebijakan publik. Pemerintah dapat memilih untuk melakukan atau tidak melakukan apa saja yang akan berdampak pada kehidupan warganya. Bridgman dan Davis (2005:3) merumuskan kebijakan publik sebagai ‘whatever government choose to do or not to do’. Oleh Edi Suharto, ungkapan Bridgman dan Davis tersebut diartikan sebagai ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’.[6]

Kebijakan publik dapat merujuk pada kekhususan bidang-bidang tertentu dalam suatu tata pemerintahan. Bidang-bidang itu dapat berupa fasilitas umum, transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, kesejahteraan, lingkungan hidup, pengembangan ekonomi, komunikasi, pertahanan, dan lain-lain.

Kebijakan publik memiliki beberapa dimensi. Edi Suharto merujuk pada Bridgeman dan Davis (2004:4-7) menyebut tiga dimensi kebijakan publik, yakni (1) Kebijakan publik sebagai tujuan, (2) Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal, dan (3) Kebijakan publik sebagai hipotesis.[7]

Kebijakan publik sebagai tujuan menunjuk pada seperangkat tindakan pemerintah yang dirancang untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Sebuah kebijakan harus memiliki tujuan yang jelas. Untuk mencapai suatu tujuan, para pembuat kebijakan dapat dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti (1) Apa maksud atau fungsi sebuah kebijakan? (2) Bagaimana kebijakan itu akan mempengaruhi agenda pemerintahan secara keseluruhan, departemen-departemen pemerintahan, kelompok-kelompok klien, kelompok-kelompok kepentingan, dan masyarakat banyak? (3) Apa dan bagaimana hubungan antara instrumen kebijakan, sebagai alat implementasi, dengan tujuan-tujuan kebijakan? (4) Apakah ada instrumen dan mekanisme implementasi yang lebih sederhana? (5) Bagaimana kebijakan ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang lainnya? Dan (6) dapatkah kebijakan yang baru itu menghasilkan perbedaan seperti yang diharapkan?

Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal karena dibuat oleh lembaga yang memiliki legitimasi dalam pemerintahan. Mereka yang duduk dalam lembaga pemerintahan menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dipertimbangkan oleh parlemen atau mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan program tertentu.

Kebijakan publik sebagai hipotesis berkaitan dengan sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Memahami kebijakan sebagai hipotesis memerlukan kalkulasi-kalkulasi ekonomi dan sosial dari para penasihat dan pembuat kebijakan. Hal yang penting dalam pembuatan kebijakan ini adalah informasi dan temuan-temuan hasil implementasi dan evaluasi kebijakan.

Ketiga dimensi di atas saling berkaitan. Pada hakekatnya kebijakan publik merupakan pilihan-pilihan tindakan yang legal dan dibuat berdasarkan hipotesis yang rasional untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Ketiga dimensi tersebut merupakan prasyarat sekaligus tantangan bagi kebijakan public yang efektif.

  1. c.       Kebijakan Sosial

Melihat bidang-bidang kebijakan publik di atas, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan sosial merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial dapat didefinisikan sebagai “seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjut (guidline), rencana (plan), peta (map) atau strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social welfare).”[8] Kebijakan sosial merujuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan welfare atau well-being rakyatnya.[9] Kebijakan ini antara lain berkaitan dengan kesehatan, perumahan, pendidikan, pendapatan, nutrisi.

Kebijakan sosial memiliki makna dan bidang garapannya tersendiri dan tidak bisa disamakan dengan bidang kemasyarakatan pada umumnya. Edi Suharto, sambil merujuk pada Spicker (1995:5), menyebut tiga karakteristik atau aras pendifinisi kebijakan sosial. Ketiga karakteristik itu adalah (1) Social policy is about policy. Elemen utama kebijakan adalah tujuan, proses implementasi dan encapaian hasil suatu inisiatif atau keputusan kolektif yang dibuat oleh departemen-departemen pemerintah atau lembaga-lembaga pelayanan sosial. (2) Social policy is concerned with issues that are social. Kebijakan sosial dibuat untuk merespon beragam masalah sosial di masyarakat. (3) Social policy is about welfare. Kebijakan sosial berurusan dengan tindakan pemerintah untuk mencapai well-being atau kondisi sejahtera bagi rakyatnya.[10]

Walaupun pemerintah telah membuat kebijakan sosial untuk memenuhi well-being rakyatnya, kesejahteraan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Kesejahteraan masyarakat juga ditentukan oleh banyak aktivitas sosial masyarakat. Masyarakat dapat mencapai kesejahteraan melalui pekerjaan, pendidikan, bantuan dari anggota keluarga, teman/sahabat, tetangga, organisasi keagamaan, dan lain-lain. Kesemua kondisi ini turut memberikan kontribusi bagi well-being masyarakat.

Kendati demikian, peran pemerintah tetap penting dalam mendorong sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan bersama, yakni kesejahteraan sosial. Untuk itu, pemerintah dapat mewujudkan kebijakan sosial dalam tiga kategori, yakni (1) perundang-undangan, (2) program pelayanan sosial, dan (3) sistem perpajakan.[11]

Hukum atau perundang-undangan merupakan salah satu bentuk kebijakan, meskipun tidak semua kebijakan berbentuk hukum. Hukum merupakan landasan konstitusional bagi kebijakan sosial. Artinya, kebijakan sosial dapat dirumuskan berdasarkan amanat konstitusi. Kebijakan sosial juga bisa berbeda dari kebijakan lembaga. Sebuah lembaga dapat merujuk pada kebijakan sosial untuk mengoperasionalkan program dan praktek aktual lembaga tersebut.

Pelayanan sosial adalah seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pelayanan sosial dilakukan sebagai wujud nyata dari kebijakan sosial untuk mengatasi masalah sosial dan mempromosikan kesejahteraan warga negara. Program pelayanan sosial dapat mencakup (a) jaminan sosial atau social security, (b) penyediaan perumahan bagi warga, (c) pelayanan kesehatan, (d) pelayanan pendidikan, (e) pelayanan sosial personal atau personal social service bagi anak, masyarakat, dan peradilan kriminal.

Kebijakan, kebijakan publik, dan kebijakan sosial memiliki nada dasar yang sama berupa tindakan atau action yang diambil dengan suatu pertimbangan yang rasional untuk tujuan tertentu. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik yang diarahkan pada tujuan pembangunan masyarakat yang sejahtera.

Kebijakan Sosial dan Pembangunan Masyarakat di Indonesia

Seperti telah disebutkan di atas, kebijakan sosial yang dibuat oleh pemerintah bukanlah satu-satunya tindakan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah mengkondisikan, melalui kebijakan sosial, agar tercipta masyarakat yang sejahtera. Pembangunan masyarakat melibatkan banyak aspek. Intervensi pemerintah melalui kebijakan sosial adalah salah satu aspek dari pembangunan masyarakat yang sejahtera.

Masyarakat sendiri memiliki banyak aspek. Kehidupan masyarakat dilihat sebagai kesatuan integratif yang mengandung dimensi sosial, politik, cultural, ekonomi, dan psikologi. Masyarakat, di satu sisi merupakan hasil interaksi antarindividu dan antar-kelompok yang di dalamnya juga meliputi faktor usia, ras, kepentingan, dan sebagainya. Di sisi lain, suatu masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil merupakan bagian integral dari masyarakat yang lebih luas.[12]

Untuk konteks Indonesia, tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sejauh ini pemerintah telah melakukan intervensi berupa kebijakan-kebijakan pembangunan. Sejak kemerdekaan 1945, pemerintah memegang peranan penting dalam pembangunan nasional melalui penyediaan prasarana sosial dan fisik, berbagai bentuk pelayanan, penyediaan faktor produksi dan juga dalam bentuk intervensi dalam proses produksi.[13]

Pemerintahan di era Presiden Soekarno memfokuskan perhatian pada penataan kehidupan bermasyarakat pasca-kolonialisasi. Tekanan pada era Soekarno adalah kemandirian atas dasar sumber daya kita sendiri. Sumber daya pokok bangsa Indonesia adalah Pertanian. Oleh karena itu, Soekarno mengupayakan penyediaan dan ketahanan pangan agar tidak terjadi pemberontakan warga. Konkrit dari upaya ini adalah penguatan peran Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1964/1965.[14]

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pada masa awal Orde Baru, tekanan pembangunan di Indonesia adalah untuk mewujudkan negara Indonesia yang maju, harus ada pembangunan. Ada dua strategi yang dipakai dalam pembangunan, yakni (1) penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, dan (2) untuk memenuhi tuntutan pembangunan, tenaga-tenaga handal dikirim belajar ke negeri industri.

Dalam pembangunan di era Soeharto, pemerintah mengupayakan kesejahteraan warga negara melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang menekankan pengembangan ekonomi (economic development) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Melalui economic development diharapkan terwujudnya pelayanan sosial dan pelayanan kesejahteraan yang terjadi melalui perembesan (trickle down effect) bagi masyarakat. Tetapi hal ini tidak terwujud. Hanya kalangan menegah ke atas yang menikmati pembangunan ini. Hal kedua yang diupayakan oleh pemerintah diarahkan pada pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan Delapan Jalur Pemerataan. Tetapi hal ini tetap tidak berhasil. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah sosial yang tidak terpecahkan sampai Soeharto lengser.[15]

Kebijakan pemerintahan Soeharto ini tidak dilanjutkan secara konsekuen oleh pengganti-penggantinya. Pemerintah tetap tidak mampu menangani masalah sosial berupa kemiskinan dan pengangguran yang mencerminkan kesenjangan dalam kesejahteraan sosial di Indonesia. Hal yang perlu diupayakan adalah pemberdayaan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan perlu diberi perhatian serius.

Penutup

Pembangunan sedang berjalan. Berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang kesejahteraan sosial tetap diupayakan untuk mendorong perubahan dalam masyarakat dari social illfare menuju social welfare. Kondisi ideal masyarakat Indonesia yang welfare masih menjadi impian yang terus diupayakan. Masyarakat juga perlu diberdayakan untuk mencapai kondisi ideal ini, meskipun peran pemerintah tetap penting dalam membuat kebijakan, entah kebijakan publik maupun kebijakan sosial menuju Indonesia sebagai welfare state.


[1] Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 15.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] James Midgley dan Michelle Livermore (eds.), The Handbook of Social Policy, (Sage Publications, Inc.: California, 2009), hal. x.

[5] Edi Suharto, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik: Peran pembangunan kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) di Indonesia, (Alfabeta: Bandung, 2008), hal.3.

[6] Ibid.

[7] Ibid. hal. 5-9.

[8] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Raykat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial, (Refika Aditama: Bandung, 2009), hal. 107.

[9] Bdk. James Midgley dan Michelle Livermore (eds.), The Handbook of Social Policy, hal. x.

[10] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Raykat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial, hal. 109-110.

[11] Edi Suharto, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik: Peran pembangunan kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) di Indonesia, hal. 10-22.

[12] Bdk. Soetomo, Pembangunan Masyarakat: Merangkai sebuah Kerangka, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2009), hal. 318-319.

[13] Ibid. hal. 332.

[14] Materi Kuliah Pembangunan Sosial Pascasarjana Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

[15] Ibid.

MIFEE dan Alternatif Pembangunan Sosial

Mega Proyek MIFEE menjadi ancaman terbesar bagi keberadaan masyarakat asli Papua, khususnya yang berada di wilayah Kabupaten Merauke. Suatu dilema bagi pemerintahan Kabupaten Merauke: menyelamatkan warga asli suku Malind Anim Ha atau menyingkirkannya beserta tradisi kebudayaannya? Alternatif pembangunan sosial menjadi suatu model pembangunan: “Pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development)”.

MEGA PROYEK MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE

//